Perjalanan kami dimulai pagi itu, di sebuah sudut kafe di Samarinda, tempat kami berkumpul dan menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Pukul 7.50 WITA, kami — Sukri, Lilis, Izzy, Adi, dan saya — meninggalkan S-Coffee, siap menghadapi hari yang panjang menuju Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Tujuan kami adalah mengunjungi salah satu daerah yang kini menjadi sorotan nasional, daerah yang di masa depan akan menjadi penyangga ibu kota baru Indonesia: Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kami melewati Jembatan Mahulu pada pukul 8.05, dan pemandangan Sungai Mahakam yang megah memudar saat kami melaju menuju Palaran. Di sana, stadion utama Kalimantan Timur yang dulu penuh gegap gempita kini tampak tak terurus, seperti monumen yang terlupakan. Bangunan megah itu menyerupai puing-puing, sebuah simbol bagaimana kemegahan bisa dengan cepat ditelan oleh waktu.
Pukul 8.18, kami memasuki pintu tol Palaran, siap untuk menyusuri jalan panjang menuju Balikpapan. Namun, jalan tol yang sepi mencerminkan ironi Kalimantan Timur. Di kanan kiri jalan, hutan sawit yang hijau lebat terlihat menggelapkan pandangan. Biasanya di musim kemarau, daerah ini kering dan gersang, namun Oktober telah membawa perubahan—musim hujan akan segera tiba.
“Lihat pohon-pohon sawit ini, biasanya kering banget di musim panas,” kata Sukri, sambil terus memegang kemudi dengan mantap.
Di belakang, Izzy dan Adi mulai tertidur, kelelahan oleh laju jalan tol yang meski tak ramai, terasa bergelombang di beberapa ruas. Sementara itu, Lilis dan saya berbincang di depan, kali ini tentang pengalaman kami masing-masing sebagai jurnalis. Biasanya saya yang bercerita, tapi kali ini Lilis mengambil alih, mungkin agar Sukri tetap terjaga di balik setir.
Sepanjang Tol dan Persaingan Politik
Setelah beberapa jam perjalanan, kami berhenti di rest area KM 37 sekitar pukul 8.50. Rest area ini tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang singgah. Masjid At-Taqwa berdiri megah namun lengang. Sambil menikmati tahu Sumedang yang Lilis beli, kami menyadari bahwa perjalanan masih panjang.
Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Tol Samarinda-Balikpapan mulai terasa lebih ramai, namun bukan oleh kendaraan pribadi. Truk-truk besar mendominasi jalanan, mengangkut material konstruksi, mencerminkan kesibukan pembangunan yang terjadi di berbagai sudut Kalimantan Timur.
Truk-truk itu, meski menghalangi laju kendaraan kami, adalah bagian dari gambaran yang lebih besar — kesibukan yang dipicu oleh rencana pemindahan ibu kota negara.
Namun, di luar jalan tol, persaingan lain yang tidak kalah intens tampak jelas: persaingan politik. Banner kampanye terpampang di sepanjang jalan, mulai dari Isran-Hadi hingga Rudy-Seno. Pilkada Kalimantan Timur 2024 hanya beberapa bulan lagi, dan spanduk-spanduk ini mengingatkan kami bahwa, meski perhatian publik terpusat pada pembangunan IKN, politik lokal tetap memainkan peran besar di tengah semua ini.
“Ini kayak perang spanduk,” ujar saya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Tiba di Pelabuhan Kariangau
Akhirnya, pada pukul 11.00 WITA, kami tiba di pintu penyeberangan Kariangau, gerbang menuju Penajam. Di sini, perjalanan kami terhenti sejenak untuk antre naik feri. Biaya penyeberangan untuk mobil kami adalah Rp315.000, lebih mahal dari yang diperkirakan Sukri.
“Biasanya nggak segini. Sebelumnya sekitar dua ratus lima puluan aja. Sudah naik tarifnya,” katanya sambil membayar lewat QRIS.
Sambil menunggu, kami turun dari mobil dan naik ke lantai dua feri, menikmati pemandangan laut yang luas. Di kejauhan, kapal-kapal besar yang mengangkut kontainer dan tongkang batu bara terlihat jelas, mengingatkan kami bahwa Kalimantan Timur masih menjadi pusat industri berat. Hujan rintik-rintik mulai turun, namun angin tetap terasa hangat.
Di sela-sela pembicaraan, Sukri menjelaskan jalur yang tadi kami lewati saat tersesat. “Sebenarnya nggak ada yang berubah, tapi banyak bangunan baru di mana-mana. Jadi kelihatan beda.”
Saat feri melaju, kami melihat lebih banyak tanda-tanda pembangunan di sepanjang pantai. Di sisi lain, kapal tongkang terlihat membawa batu bara, sementara di kejauhan, cerobong asap mengeluarkan api.
“Itu bukan pabrik, tapi pengolahan limbah,” kata Sukri, membantah tebakanku tentang pemandangan tersebut.
Namun, dengan segala aktivitas yang terlihat, jelas bahwa wilayah ini sedang dalam masa transisi besar-besaran.
Tiba di Penajam: Serambi Nusantara
Pada pukul 12.27, kami akhirnya tiba di Penajam Paser Utara. Penajam, meski masih berjarak sekitar 60 km dari pusat pembangunan IKN, terasa seperti pintu gerbang menuju masa depan Indonesia. Jalanan di sekitar penyeberangan dipenuhi oleh banner politik yang sama seperti sebelumnya, dengan Rudy-Seno yang mendominasi. Namun, di balik semua itu, suasana tenang tetap terasa. Penajam tampak seperti kota kecil yang masih beradaptasi dengan perubahan besar di sekitarnya.
Selama perjalanan dari pelabuhan ke kota, kami melewati banyak proyek konstruksi yang tengah berlangsung. Truk-truk besar terus mengangkut material, sementara alat-alat berat seperti ekskavator terlihat di banyak titik. Jalanan penuh dengan pekerja konstruksi, menandakan bahwa pembangunan IKN sedang bergerak cepat.
Namun, di tengah semua hiruk-pikuk ini, tidak semua orang yakin bahwa rencana pemindahan ibu kota akan berjalan mulus. Lilis, yang selama perjalanan tampak antusias, mulai menunjukkan keraguan.
“Serius nih ibu kota akan pindah? Rasanya kok belum ada perubahan besar,” tanyanya. Memang, meski pembangunan sudah dimulai, banyak masyarakat yang masih skeptis, mengingat proses ini membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Makan Siang di Buen Cafe
Setelah perjalanan panjang, kami tiba di Buen Cafe, sebuah tempat sederhana yang menjadi tempat berkumpul para jurnalis dan pekerja media lokal. Di sini, suasana terasa lebih tenang. Kami duduk, menikmati makan siang sederhana sambil berbincang tentang berbagai topik, dari masa depan IKN hingga politik lokal yang semakin memanas.
Cafe ini menjadi tempat yang sempurna untuk merenung sejenak, setelah seharian melintasi jalan-jalan yang penuh dengan tanda-tanda pembangunan. Penajam Paser Utara, meski masih terlihat seperti kota kecil, kini menjadi pusat perhatian nasional. Keberadaannya sebagai pintu masuk ke IKN memberi kota ini arti yang jauh lebih besar dari sekadar peran tradisionalnya sebagai daerah pinggiran.
Saat kami bersiap untuk pulang, pandangan saya kembali ke jalanan yang kami lalui. Truk-truk besar, banner politik, dan alat berat semuanya merupakan bagian dari lanskap baru Kalimantan Timur. Perjalanan ini mungkin tampak seperti perjalanan biasa, namun di balik itu, kami menyaksikan mimpi awal dari perubahan besar yang mungkin membentuk masa depan Indonesia.
Penajam, dengan segala kesederhanaannya, kini berada di pusat perhatian. Dan kami, dalam perjalanan yang tampak biasa ini, menjadi saksi kecil dari proses perubahan besar yang sedang terjadi. “Ini baru permulaan,” ucap Sukri sebelum kami beranjak pergi, mengingatkan kami bahwa pembangunan IKN, meski penuh tantangan, telah mulai menorehkan jejaknya di tanah Kalimantan.