Jakarta – Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan menyepakati rencana penerapan cukai bagi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) mulai tahun 2026. Kebijakan ini merupakan bagian dari program ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) yang masuk dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan hasil rapat kerja pengambilan keputusan asumsi dasar RUU APBN 2026 di Kompleks Parlemen pada Jumat (22/8/2025). “Sektor kepabeanan dan cukai ekstensifikasi BKC antara lain melalui program penambahan objek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) untuk diterapkan dalam APBN 2026,” ujarnya.
Misbakhun menegaskan bahwa besaran tarif cukai MBDK belum diputuskan. Penetapan tarif akan dibahas lebih lanjut dan wajib dikonsultasikan dengan DPR. “Pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” katanya.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai potensi penerimaan dari cukai MBDK cukup besar. Peneliti YLKI, Rully Prayoga, menyebutkan proyeksi penerimaan pada APBN 2025 bisa mencapai Rp3,2 triliun, meningkat dari Rp1,2 triliun pada tahun sebelumnya. Menurutnya, kebijakan ini memiliki dasar hukum kuat melalui Pasal 4 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Potensi cukai MBDK di APBN 2025 cukup besar, sekitar Rp3,2 triliun. Artinya, pemerintah melihat adanya peluang fiskal yang signifikan,” kata Rully dalam sebuah diskusi di Makassar, Sulawesi Selatan, Januari lalu.
Selain untuk menambah penerimaan negara, penerapan cukai ini juga diharapkan berperan dalam mengendalikan konsumsi minuman berpemanis yang dinilai berisiko bagi kesehatan. Rully menekankan bahwa cukai tersebut sebaiknya dialokasikan bagi sektor kesehatan, khususnya untuk program pencegahan penyakit tidak menular yang dipicu oleh pola konsumsi tinggi gula.
Pemerintah kini dituntut untuk segera menyusun aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) agar penerapan cukai MBDK dapat berjalan efektif. Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran bahwa konsumsi berlebihan minuman berpemanis bisa mengancam kualitas generasi mendatang.
Dengan masuknya MBDK sebagai objek cukai, Indonesia mengikuti jejak sejumlah negara lain yang telah menerapkan kebijakan serupa demi menekan risiko kesehatan publik sekaligus memperluas basis penerimaan negara.