Bandung – Polemik kebijakan KB pria dengan metode vasektomi sebagai syarat bantuan sosial di Jawa Barat menuai reaksi keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat. Lembaga tersebut menyatakan bahwa praktik vasektomi hukumnya haram dalam Islam, kecuali terdapat kondisi darurat medis yang dibenarkan syariat.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Jawa Barat, KH Rahmat Syafei, merujuk pada hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV yang diselenggarakan di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya pada tahun 2012. “Tidak boleh bertentangan dengan syariat, pada intinya vasektomi itu haram,” ujarnya.
Menurut Rahmat, vasektomi hanya diperbolehkan jika bertujuan untuk menjaga kesehatan atau menghindari mudarat, dan tidak bersifat permanen. Ia menegaskan, tindakan tersebut harus menjamin bahwa fungsi reproduksi dapat kembali normal jika dibutuhkan.
“Boleh dilakukan kalau tujuannya tidak menyalahi syariat seperti kesehatan, tidak menyebabkan kemandulan permanen, dan tidak menimbulkan bahaya bagi pelakunya,” tegas Rahmat.
Isu ini mencuat setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengemukakan wacana menjadikan KB pria—termasuk vasektomi—sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan sosial. Wacana tersebut disampaikan dalam rapat koordinasi bertema “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” pada Senin (28/4/2025), yang turut dihadiri beberapa menteri dan kepala lembaga pusat.
Dedi menyatakan keprihatinannya terhadap jumlah anak dalam keluarga prasejahtera yang dianggap melebihi kemampuan ekonomi. Ia menuturkan, terdapat keluarga miskin dengan hingga 22 anak yang hidup dalam keterbatasan. “Saya pernah menemukan satu keluarga dengan 10 anak, dan ibunya sedang mengandung anak ke-11,” ujarnya dalam forum tersebut.
Menanggapi hal ini, MUI Jawa Barat tidak mempermasalahkan insentif bagi keluarga yang ikut program KB. Namun, mereka menekankan bahwa metode KB yang digunakan, khususnya vasektomi, harus tetap mematuhi ketentuan hukum Islam.
“Kalau untuk insentif tidak apa-apa, tapi yang penting tadi vasektominya (harus) memenuhi persyaratan untuk dibolehkan,” pungkas Rahmat.
Wacana kebijakan tersebut memicu diskusi publik luas, terutama terkait hak reproduksi, kesejahteraan keluarga, serta batas antara kebijakan sosial dan nilai-nilai agama.