Jakarta – Ombudsman RI Perwakilan Banten menyatakan bahwa kasus pembangunan pagar laut misterius di Kabupaten Tangerang mengandung unsur maladministrasi. Kesimpulan ini diambil setelah melakukan investigasi sejak Kamis (19/12/2024).
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Banten, Fadli Afriadi, mengungkapkan bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten memang sudah menindaklanjuti laporan nelayan terkait pagar laut. Namun, langkah tersebut dinilai lamban, sehingga pembangunan pagar terus berlanjut sebelum akhirnya dibongkar.
“Kami menyatakan memang ada maladministrasi. Kami mengapresiasi yang sudah dilakukan oleh DKP setelah mendapatkan laporan masyarakat, tapi membutuhkan waktu yang cukup lama sampai Rabu (22/01/2025) baru dilakukan pembongkaran,” kata Fadli dalam jumpa pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (03/02/2025).
Menurutnya, DKP Banten telah memerintahkan penghentian pembangunan saat pagar laut masih berukuran 10 kilometer. Namun, pembongkaran baru dilakukan setelah pagar tersebut mencapai lebih dari 30 kilometer, yang menyebabkan dampak lebih besar bagi masyarakat pesisir.
Kelambanan dalam merespons laporan ini telah menyebabkan kerugian besar bagi para nelayan setempat. Ombudsman Perwakilan Banten menaksir nilai kerugian yang dialami sekitar 4.000 nelayan mencapai Rp24 miliar.
“Minimal kerugian yang dialami hampir 4.000 nelayan itu mencapai sekurang-kurangnya Rp24 miliar karena ada berbagai asumsi dari jumlah bahan bakar yang bertambah antara 4-6 liter solar per hari, lalu hasil tangkapannya berkurang, dan juga adanya kerusakan kapal,” ucap Fadli.
Ombudsman RI memberikan dua rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menangani masalah ini. Pertama, DKP Banten diminta untuk mendorong serta mengawasi penuntasan pembongkaran pagar laut agar tidak ada lagi hambatan bagi nelayan.
Kedua, DKP Banten juga diminta menindak para pelanggar terkait pagar laut ini, baik secara administratif maupun pidana, dengan berkoordinasi bersama pihak berwenang.
“Berkoordinasi dengan KKP ataupun aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti adanya indikasi pemanfaatan ruang laut, baik secara administrasi maupun pidana, sebagai langkah pencegahan serta pemberian efek jera,” ujar Fadli.
Kasus pagar laut ini sempat menjadi sorotan nasional setelah nelayan melaporkan kesulitan menangkap ikan karena laut mereka dibatasi pagar sepanjang 30 kilometer. Kejadian ini kemudian menarik perhatian pemerintah pusat, yang segera menginstruksikan pembongkaran pagar tersebut.
Presiden Prabowo Subianto memerintahkan sejumlah kementerian dan lembaga untuk turun tangan. Pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum pun akhirnya membongkar pagar yang dinilai merugikan masyarakat pesisir.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) turut meninjau ulang status sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) atas lahan yang digunakan dalam pembangunan pagar laut ini. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyebut bahwa sertifikat di 50 dari 263 bidang tanah yang terkait dengan pagar laut tersebut telah dicabut.
Kasus ini juga menimbulkan spekulasi adanya praktik ilegal dalam pemanfaatan ruang laut. Dugaan ini semakin kuat setelah ditemukan beberapa kejanggalan dalam penerbitan sertifikat lahan di lokasi tersebut.
Dengan adanya temuan maladministrasi oleh Ombudsman, diharapkan pemerintah daerah dan instansi terkait dapat lebih cepat dalam menangani masalah serupa di masa depan. Sementara itu, para nelayan berharap kejadian ini tidak terulang kembali dan mereka bisa kembali melaut tanpa hambatan.