Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Pajak Bukan Satu-Satunya Jalan

Islam mengajarkan keadilan fiskal melalui baitul mal—bukan lewat pajak sewenang-wenang yang menindas rakyat kecil.
Udex MundzirUdex Mundzir29 Maret 2025 Editorial
Pajak
Ilustrasi pajak (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Ketika sistem pajak modern terus membebani rakyat, penting bagi umat untuk mengetahui bahwa Islam telah menawarkan konsep keuangan negara yang lebih adil. Negara Islam klasik memiliki struktur yang jelas dalam pengelolaan pemasukan dan pengeluaran melalui lembaga yang disebut baitul mal.

Baitul mal bukan sekadar kas negara, tetapi fondasi sistem fiskal Islam yang menjamin bahwa pendapatan negara tidak hanya bertumpu pada pajak. Bahkan, dalam banyak keadaan, Islam membatasi pemungutan pajak agar tidak menjadi instrumen penindasan.

Dalam sistem Islam, pajak tidak diberlakukan menyeluruh. Hanya harta tertentu yang dikenai pungutan, itupun dengan memperhatikan kemampuan individu dan kondisi umat. Ini berbeda jauh dengan sistem modern yang cenderung seragam dan memaksa, tanpa mempertimbangkan keadilan sosial secara nyata.

Salah satu sumber utama keuangan negara dalam Islam adalah zakat. Kewajiban ini dikenakan pada kaum Muslimin yang memiliki harta tertentu. Negara bertugas mengumpulkannya dan menyalurkannya ke delapan golongan penerima seperti disebut dalam QS. At-Taubah ayat 60.

Zakat bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga sistem distribusi kekayaan. Tidak seperti pajak, zakat tak bisa disalahgunakan, karena peruntukannya jelas dan penerimanya ditentukan oleh syariat.

Selain zakat, ada ghanimah (rampasan perang) dan fai’ (harta yang diperoleh tanpa peperangan). Dalam sejarah, dua sumber ini menjadi pemasukan besar negara Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Anfal: 41, seperlima dari rampasan disalurkan ke baitul mal untuk kepentingan umum.

Selanjutnya, terdapat kharaj, yaitu pajak atas tanah pertanian milik non-Muslim yang ditaklukkan, namun tetap dikelola oleh pemilik asal. Ini diterapkan oleh Umar bin Khattab dalam pengelolaan tanah Irak dan Syam, dan menjadi sumber penting tanpa harus menindas rakyat.

Ada pula jizyah, yakni upeti dari warga non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam. QS. At-Taubah: 29 menjelaskan mekanisme ini, yang bukan bentuk diskriminasi, tetapi sebagai ganti dari perlindungan militer dan layanan negara yang mereka nikmati.

Dalam sektor perdagangan, Islam menerapkan ‘usyur, yaitu pungutan atas pedagang asing yang masuk ke wilayah Islam. Jumlahnya sebanding dengan yang dikenakan pada pedagang Muslim di negeri mereka. Ini menunjukkan asas timbal balik dan keadilan.

Sumber lainnya adalah harta milik umum, seperti air, hutan, tambang, dan energi. Hadis Nabi SAW menyebut bahwa kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Maka hasil alam bukan milik individu, tapi milik umat dan dikelola negara untuk kesejahteraan bersama.

Islam juga mengatur soal harta tak bertuan seperti rikaz (harta terpendam), luqatah (harta temuan), dan warisan tanpa ahli waris. Semua itu masuk ke baitul mal jika tidak ada klaim sah dari individu atau keluarga.

Tak kalah penting, kekuatan ekonomi umat dalam Islam juga ditopang oleh waqaf dan infaq sukarela. Sejarah mencatat, sekolah, rumah sakit, dan lembaga sosial Islam di masa kejayaan dibangun dari dana waqaf—bukan pajak rakyat.

Dengan semua instrumen itu, jelas bahwa Islam memiliki sistem keuangan negara yang kokoh dan berkeadilan. Pajak dalam bentuk modern bukan hal yang dominan, dan justru menjadi opsi terakhir jika kondisi benar-benar darurat.

Mayoritas ulama seperti Al-Ghazali dan Al-Mawardi memang membolehkan negara memungut harta dari rakyat dalam keadaan mendesak. Tetapi syaratnya ketat: negara harus benar-benar membutuhkan, baitul mal kosong, dan rakyat yang dikenai pungutan harus mampu.

Imam Asy-Syaukani menegaskan bahwa tidak halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan ketentuan syariat. Ini menjadi prinsip penting dalam membatasi kekuasaan fiskal negara agar tidak menindas rakyat.

Namun, di tengah ketertarikan pemerintah terhadap zakat, infak, sedekah, dan bahkan wakaf—negara justru tampak alergi jika solusi dikaitkan langsung dengan Islam.

Masyarakat dibuat fobia dengan kata “Islam” seolah ia membawa ancaman, bukan solusi. Padahal, negara justru ingin mengambil hasil dari sistem Islam: zakat dikumpulkan, infak dimobilisasi, dan wakaf dikelola oleh lembaga pemerintah.

Pemerintah ingin hasilnya, tapi menolak prinsipnya. Inilah bentuk kontradiksi yang mencolok dan menyesakkan.Di saat yang sama, wacana penerapan pajak terus meluas tanpa kejelasan asas keadilannya. Sementara sumber pemasukan berbasis syariat yang telah terbukti historis dan adil justru diabaikan atau hanya dimanfaatkan secara parsial.

Inilah saatnya umat menyadari bahwa solusi Islam tidak hanya relevan, tapi juga realistis. Sistem keuangan negara yang berlandaskan syariah tidak anti-modern, melainkan alternatif yang lebih manusiawi dan adil.

Kita tidak menolak pengelolaan negara yang efisien. Yang kita tolak adalah sistem yang mencekik rakyat kecil, mengabaikan asas keadilan, dan enggan menoleh pada ajaran agamanya sendiri.

Pajak bukan satu-satunya jalan. Islam telah menyiapkan sistem yang lebih holistik—tinggal apakah negara siap menerapkannya secara jujur, atau terus berjalan dengan wajah ganda: anti-Islam secara retorika, tapi mengincar hasilnya secara diam-diam.

Baitul Mal Ekonomi Islam Keadilan Fiskal Pajak dan Syariah Wakaf dan Zakat
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleD’MASIV Menuju Panggung Dunia dari Ciledug ke Los Angeles
Next Article Negeri Pungli dan Pajak Tinggi

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Keberkahan Jamaah Haji Merasa Senang Dekat Masjid Nabawi

Islami Alfi Salamah

Unwanted Leader

Argumen Syamril Al-Bugisyi

Kenapa Gen Z Cepat Bosan Ngobrol Langsung?

Daily Tips Lina Marlina

Refleksi Kemenangan dan Kekalahan dalam Pilkada 2024

Editorial Udex Mundzir

Menjadi Bintang

Islami Syamril Al-Bugisyi
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.