Jakarta – Jumlah pekerja sektor informal di Indonesia menembus angka 59,40 persen pada Mei 2025, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Lonjakan ini menandai kondisi ketenagakerjaan yang mengkhawatirkan, di tengah meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan keterbatasan lapangan kerja formal.
Direktur Eksekutif SOLIDARITAS-Indonesia Labour Studies & Research Institute, Odie Hudiyanto, menilai bahwa dominasi sektor informal merupakan cerminan buruk dari situasi ekonomi nasional.
“Tingginya jumlah pekerja informal menunjukkan lapangan kerja formal semakin sempit dan PHK makin merajalela,” ujarnya, Ahad (11/5/2025).
Menurut Odie, definisi pekerja informal kini semakin luas. Jika dulu terbatas pada profesi seperti pedagang kaki lima, buruh tani, dan tukang becak, kini mencakup pekerja layanan daring seperti ojek online dan kurir ekspedisi, serta buruh kontrak harian di sektor industri.
Situasi ini juga diperkuat data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJamsostek), yang melaporkan lonjakan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar 100 persen pada Maret 2025 dibandingkan tahun sebelumnya.
Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, menyebutkan bahwa hingga 31 Maret 2025, manfaat JKP telah disalurkan kepada lebih dari 35 ribu pekerja korban PHK, dengan total nominal mencapai Rp161 miliar.
“Jumlah klaim melonjak dua kali lipat dibandingkan Maret 2024. Ini pertanda bahwa pasar kerja formal sedang dalam tekanan berat,” ujar Oni.
BPS juga mencatat 8 persen penduduk usia kerja masuk kategori setengah pengangguran dan 25,81 persen bekerja paruh waktu.
Fenomena ini mencerminkan tingginya kerentanan pekerja terhadap pengurangan jam kerja dan ketidakpastian pendapatan.
Di tengah situasi ini, sektor informal kerap menjadi jalan pintas masyarakat untuk bertahan hidup.
Namun, tanpa perlindungan sosial dan jaminan ketenagakerjaan yang memadai, posisi pekerja informal sangat rentan terhadap eksploitasi dan krisis ekonomi.
Dengan tren yang mengkhawatirkan ini, para pengamat menyerukan perlunya kebijakan afirmatif dari pemerintah untuk membuka lapangan kerja formal baru, memperluas perlindungan jaminan sosial, serta memperkuat regulasi ketenagakerjaan yang berpihak pada pekerja.
