Dalam setiap kompetisi politik, hasil akhir sering kali membawa ketidakpuasan. Pilkada Jakarta 2024 tidak luput dari dinamika tersebut. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO), yang meraih posisi kedua dengan selisih suara tipis, memilih untuk menggugat hasil rekapitulasi suara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara itu, pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Pramono-Rano) yang dinyatakan menang satu putaran dengan raihan 50,07% suara, bersikeras bahwa proses pemilu berlangsung jujur dan transparan.
Langkah RIDO ini menimbulkan pertanyaan, apakah gugatan ini murni memperjuangkan keadilan, atau hanya strategi politik untuk tetap relevan? Dengan berbekal dalih dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), seperti ketidakmerataan distribusi formulir C6 dan pelanggaran di Pinang Ranti, RIDO berharap menggoyahkan hasil yang telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta.
Dari sisi hukum, gugatan ke MK adalah hak setiap peserta pemilu yang merasa dirugikan. MK menjadi benteng terakhir untuk memastikan keabsahan hasil pemilu. Namun, mekanisme ini sering disalahgunakan untuk tujuan politik. RIDO menghadapi tantangan berat: membuktikan pelanggaran TSM dengan bukti kuat, bukan sekadar narasi.
Dari sisi politik, langkah “gugat aja dulu” ini bisa jadi hanya taktik mempertahankan basis pendukung. Ketika perselisihan hasil pemilu menjadi sorotan, pasangan yang menggugat tetap berada di panggung utama politik, bahkan jika akhirnya gugatan ditolak. Tetapi, risiko besar mengintai: memperdalam polarisasi publik dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Pilkada Jakarta, sebagai barometer politik nasional, harus dijaga integritasnya. KPU Jakarta telah berusaha menyelenggarakan proses yang transparan, termasuk penghitungan suara manual berjenjang. Namun, klaim kecurangan, meski tidak disertai bukti konkret, dapat mencederai legitimasi demokrasi.
Ketua KPU Jakarta Wahyu Dinata menegaskan bahwa proses rekapitulasi telah sesuai aturan dan dapat diawasi oleh publik. Bahkan, hasil tim internal Pramono-Rano tidak jauh berbeda dengan data resmi KPU. Namun, tudingan pelanggaran yang terus disuarakan RIDO membuat sebagian masyarakat mempertanyakan netralitas penyelenggara pemilu.
Secara hukum, MK memiliki prosedur ketat untuk memverifikasi klaim pelanggaran. Jika bukti tidak cukup kuat, gugatan akan ditolak. Tetapi, narasi “kami digagalkan secara sistematis” dapat menjadi alat politik jangka panjang bagi RIDO.
Secara sosial, narasi kecurangan ini berisiko menciptakan ketegangan antarpendukung. Dalam konteks Jakarta, yang memiliki keragaman tinggi, isu seperti ini dapat memicu polarisasi berbasis identitas politik dan sosial.
MK harus memastikan proses penyelesaian gugatan berjalan cepat dan transparan. Keputusan yang jelas dan berbasis bukti akan menekan narasi politis yang tidak berdasar.
KPU dan Bawaslu perlu meningkatkan literasi politik masyarakat agar mereka tidak mudah termakan narasi kecurangan tanpa bukti. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu.
Pramono-Rano, sebagai pasangan terpilih, perlu merangkul semua pihak untuk memastikan pemerintahan yang inklusif. Pendekatan ini penting untuk meredam ketegangan politik dan sosial.
Kasus seperti ketidakmerataan distribusi formulir C6 harus menjadi pelajaran. KPU perlu meningkatkan akurasi dan distribusi logistik pemilu di masa mendatang.
Langkah RIDO untuk menggugat hasil Pilkada Jakarta ke MK, meskipun sah, tidak boleh hanya menjadi simbol perlawanan politik tanpa dasar yang kuat. Demokrasi yang sehat membutuhkan kedewasaan semua pihak untuk menerima hasil dengan bijak.
Pilkada Jakarta adalah ujian bagi komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip demokrasi. “Gugat aja dulu” mungkin menjadi strategi politik, tetapi pada akhirnya, kebenaran hanya akan terungkap jika semua pihak menjunjung tinggi kejujuran, transparansi, dan keadilan.