Era digital tanpa batas telah mengaburkan garis antara ranah publik dan privasi individu. Kematian Nisan, yang dikenal sebagai “Abang Siomay Racing,” menjadi pengingat menyakitkan tentang bagaimana teknologi, jika tidak dikendalikan, dapat melanggar batasan etika dan privasi. Tragedi ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang tanggung jawab publik dalam era informasi yang serba cepat dan tak terbatas.
Kisah Nisan menarik perhatian masyarakat luas karena persona uniknya di media sosial. Namun, setelah meninggal dunia di tempat umum, perhatian tersebut beralih menjadi perburuan konten sensasional. Dalam situasi seperti ini, pihak keluarga telah dengan jelas meminta agar video yang merekam kondisi terakhirnya tidak disebarluaskan. Sayangnya, desakan keluarga sering kali diabaikan oleh sebagian warganet yang lebih mengutamakan sensasi dibandingkan rasa empati.
Kejadian ini menunjukkan masalah mendasar dalam budaya media sosial kita: kecenderungan untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan segala sesuatu tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pihak-pihak yang terlibat. Privasi, terutama dalam situasi yang menyedihkan, seperti kematian seseorang, sering kali diabaikan demi keinginan untuk “membagikan” atau menjadi yang pertama menyebarkan informasi.
Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi masyarakat tentang urgensi menumbuhkan literasi digital yang lebih baik. Fakta bahwa video semacam itu bisa beredar luas menunjukkan kurangnya kesadaran sebagian masyarakat terhadap etika bermedia sosial. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai lebih dari 220 juta orang. Dengan angka sebesar ini, penyalahgunaan media digital dapat membawa konsekuensi serius bagi korban dan keluarga mereka.
Selain itu, isu ini juga mengangkat pertanyaan tentang peran platform digital. Apakah mereka telah cukup bertanggung jawab dalam menyaring konten yang melanggar privasi? Langkah-langkah seperti laporan pengguna, penghapusan konten, hingga edukasi penggunaan platform dapat menjadi strategi penting. Namun, tanggung jawab juga tidak semata-mata berada pada platform. Kita, sebagai pengguna, harus bertanggung jawab terhadap apa yang kita bagikan.
Dalam konteks ini, aspek budaya juga menjadi faktor penting. Tradisi komunal masyarakat Indonesia sering kali membuat orang merasa memiliki hak untuk mengetahui urusan orang lain, bahkan dalam kondisi yang sensitif. Namun, dengan berkembangnya zaman, kita perlu belajar untuk lebih menghormati ruang pribadi setiap individu.
Sebagai solusi, pemerintah bersama dengan komunitas media sosial harus menggencarkan program literasi digital yang menekankan pentingnya etika dalam menggunakan internet. Di Finlandia, misalnya, literasi digital telah menjadi bagian kurikulum sejak usia dini, sehingga masyarakat mereka lebih peka terhadap dampak sosial media. Kita juga perlu mencontoh negara-negara seperti Jerman, yang memiliki undang-undang ketat terhadap penyebaran konten yang melanggar privasi atau tidak pantas.
Selain regulasi, diperlukan pula pendekatan berbasis nilai, seperti menanamkan empati di kalangan pengguna media sosial. Pendekatan ini dapat dilakukan melalui kampanye yang melibatkan influencer hingga selebritas yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku online masyarakat.
Sebagai individu, kita juga bisa memulai perubahan. Sebelum membagikan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini bermanfaat, apakah ini melukai, dan apakah ini sesuai dengan etika? Sikap sederhana seperti ini dapat membantu menciptakan ruang digital yang lebih manusiawi.
Tragedi seperti yang dialami oleh keluarga Nisan harus menjadi pelajaran berharga. Kita tidak hanya kehilangan sosok yang menghibur banyak orang, tetapi juga melihat sisi gelap dari budaya digital kita. Sudah saatnya kita lebih bijak, bertanggung jawab, dan berempati dalam menggunakan teknologi, sehingga tragedi serupa tidak terulang di masa depan.