Panggung politik Indonesia bergetar ketika isu warisan politik kembali menjadi sorotan. Desakan agar Presiden Prabowo Subianto mundur dengan alasan gagal menjaga keamanan negara memunculkan ketegangan baru. Isu ini tidak lahir di ruang kosong, melainkan digerakkan oleh kelompok yang kerap diasosiasikan dengan lingkaran loyalis mantan Presiden Joko Widodo.
Publik mulai melihat pola yang berulang. Setiap ada kericuhan atau instabilitas, selalu muncul narasi yang diarahkan pada kegagalan pemerintahan baru. Fenomena ini menandakan bahwa bayang-bayang Jokowi masih kuat dalam lanskap politik, meski roda kekuasaan telah berganti.
Sebutan “Geng Solo” menjadi istilah populer untuk menggambarkan jejaring kekuasaan itu. Meski bukan istilah resmi, ia melekat kuat di telinga publik sebagai simbol pengaruh yang masih bercokol. Jejaring ini dituduh ikut mengendalikan berbagai sektor, dari partai politik, birokrasi, hingga aparat keamanan.
Secara politik, situasi ini bukan sekadar konflik personal antara Jokowi dan Prabowo. Ada pertarungan ideologi dan kepentingan yang jauh lebih dalam. Setiap transisi pemerintahan di Indonesia selalu menyisakan “warisan” dari rezim sebelumnya, dan kali ini, pola itu kembali terbukti.
Di bidang hukum, masalah menjadi semakin rumit. Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang diangkat pada masa Jokowi menjadi simbol berlanjutnya warisan tersebut. Sebagian kalangan menilai kehadirannya menjaga kesinambungan, sementara pihak lain menganggapnya justru menghambat independensi pemerintahan baru.
Jika Prabowo tidak mampu bersikap tegas dalam menata ulang institusi keamanan, citra pemerintahannya akan mudah digoyang. Tuduhan “pemerintahan bayangan” akan terus menghantui, dan legitimasi presiden bisa terkikis. Situasi ini tentu berbahaya bagi stabilitas nasional.
Dari sisi sosial, polarisasi semakin nyata. Sebagian masyarakat menaruh harapan pada Prabowo untuk membawa arah baru. Namun, sebagian lain tetap setia pada lingkaran lama dan mencoba menggiring opini bahwa pemerintahan ini gagal sejak awal.
Narasi “mundur” dan “kudeta politik” jelas bukan sekadar wacana, melainkan strategi untuk melemahkan legitimasi presiden. Dalam kondisi ini, rakyat lagi-lagi menjadi korban. Mereka harus menanggung dampak ketidakpastian, sementara kebutuhan hidup sehari-hari semakin berat.
Ekonomi juga tak luput dari imbas. Stabilitas politik adalah syarat mutlak bagi pertumbuhan investasi. Setiap gejolak politik membuat investor menunda langkah, dan akhirnya pembangunan terhambat.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa arus investasi melambat setiap kali tensi politik memanas. Pada tahun pertama pemerintahannya, Prabowo seharusnya mendapat ruang tenang untuk fokus pada program prioritas seperti swasembada pangan dan penguatan pertahanan. Namun, konflik elit justru mempersempit ruang itu.
Dampaknya langsung dirasakan masyarakat kecil. Inflasi bahan pokok tetap tinggi, dan daya beli melemah. Sementara itu, drama politik elit hanya menambah rasa frustrasi, karena rakyat merasa dibiarkan bergulat sendiri dengan kesulitan ekonomi.
Budaya politik patronase semakin memperburuk keadaan. Loyalitas personal lebih sering diprioritaskan daripada kepentingan negara. Prabowo kini dihadapkan pada dilema besar: menanggalkan figur warisan Jokowi atau membiarkan mereka bertahan demi stabilitas jangka pendek.
Keputusan ini akan menentukan arah sejarah. Apakah ia akan tercatat sebagai presiden yang berani memutus rantai ketergantungan, atau sekadar melanjutkan pola lama dengan wajah baru. Sikap tegas sangat dibutuhkan, tetapi langkah itu harus tetap bijak.
Meski demikian, solusi tidak cukup hanya “menyingkirkan” orang lama. Pemerintahan Prabowo perlu membangun sistem meritokrasi yang transparan dan akuntabel. Aparat hukum dan keamanan harus ditempatkan berdasarkan kapasitas, bukan loyalitas.
Reformasi di tubuh kepolisian adalah langkah awal yang mendesak. Tanpa itu, tudingan bahwa aparat menjadi alat politik akan terus melekat. Rakyat membutuhkan kepastian bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, bukan berdasarkan pesanan elit.
Selain itu, komunikasi politik pemerintah harus diperbaiki. Prabowo perlu menyampaikan arah kebijakan dengan jelas dan konsisten. Publik berhak tahu ke mana bangsa ini akan dibawa, tanpa dibiarkan terjebak dalam spekulasi yang memperburuk kepercayaan.
Masyarakat pun punya peran penting. Literasi politik harus ditingkatkan agar tidak mudah terjebak propaganda. Media sosial, yang sering dipakai sebagai alat provokasi, sebaiknya dimanfaatkan untuk membangun narasi positif dan memperkuat persatuan.
Jika rakyat hanya diam dan menerima narasi yang dilemparkan elit, maka konflik akan terus dimainkan. Demokrasi akan terjebak dalam permainan oligarki, dan ruang bagi partisipasi publik semakin sempit. Itulah risiko nyata dari politik yang dikuasai warisan.
Institusi hukum harus berdiri tegak. Kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penegak hukum lain tidak boleh tunduk pada kepentingan politik. Independensi mereka menjadi kunci agar pemerintahan berjalan dengan adil dan demokrasi tetap bernyawa.
Pertarungan politik antara warisan Jokowi dan pemerintahan Prabowo adalah cermin dari rapuhnya sistem transisi kekuasaan di Indonesia. Kita terlalu lama mengandalkan loyalitas personal daripada membangun institusi yang kuat. Hasilnya, rakyat hanya melihat wajah baru dengan pola lama.
Sebagai media, kami menegaskan bahwa bangsa ini tidak boleh terus-menerus terjebak dalam lingkaran konflik elit. Prabowo harus berani menata ulang struktur politik dan keamanan, sekaligus merangkul rakyat dengan kebijakan yang inklusif.
Hanya dengan cara itu demokrasi bisa bertahan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memutus rantai ketergantungan, bukan sekadar mewarisi pola lama. Kepentingan rakyat harus selalu ditempatkan di atas ambisi pribadi maupun kelompok.