Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Revisi Dam: Ibadah atau Administrasi?

Ketika maslahat dijadikan alasan, jangan sampai syariat justru dikompromikan oleh efisiensi administratif.
Udex MundzirUdex Mundzir24 Mei 2025 Editorial
Tata Kelola Dam Haji di Indonesia
Ilustrasi Tata Kelola Dam Haji di Indonesia (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Sebuah wacana berani sedang digulirkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 1446 H/2025 M, pemerintah secara resmi membuka opsi penyembelihan dam tamattu’ dilakukan di Indonesia.

Dengan dalih efisiensi, kemanfaatan sosial, dan rekomendasi dari Mudzakarah Perhajian serta komunikasi dengan otoritas Saudi, gagasan ini tampak rasional secara administratif. Namun, benarkah itu sejalan dengan hukum syariat?

Dam atau hadyu adalah bentuk kewajiban bagi jamaah haji yang mengambil manasik tamattu’ atau qiran, yang diwujudkan melalui penyembelihan hewan kurban di Tanah Haram.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 41 Tahun 2011 secara tegas menyatakan bahwa penyembelihan dam di luar Tanah Haram adalah tidak sah.

Argumen ini berpijak pada Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama dari berbagai mazhab. Hukum ini tidak sekadar berbicara pada aspek logika distribusi, tapi menyangkut dimensi ta’abudi—ibadah yang mengikuti perintah secara literal tanpa nalar substitusi.

Namun, MUI juga mengeluarkan Fatwa Nomor 52 Tahun 2014 yang lebih akomodatif terhadap aspek teknis. Dalam fatwa ini, dibolehkan pembayaran dam secara kolektif dengan mekanisme wakalah (perwakilan) dan dimungkinkan pendistribusian daging ke luar Tanah Haram demi kemaslahatan.

Di sinilah letak titik lentur yang kini dijadikan dasar legitimasi perubahan kebijakan. Pemerintah berargumen bahwa penyembelihan dam selama ini masih menyisakan banyak masalah.

Distribusi tidak efisien, pelaksanaan rawan penyelewengan, dan tidak memberi dampak nyata pada fakir miskin Indonesia.

Penelitian IDB bahkan mencatat bahwa 25% pelaksanaan dam oleh jamaah haji berpotensi tidak sah karena tidak sesuai syariat atau standar kebersihan.

Dari sisi pengawasan dan transparansi, Kemenag merasa perlu melakukan reformasi menyeluruh, termasuk kemungkinan memotong dan mengolah daging dam di dalam negeri.

Namun, kritik mendasar muncul dari sudut hukum fikih. Banyak ulama, seperti Imam Nawawi, al-Bahuti, hingga Athiyyah Shaqr, menegaskan bahwa penyembelihan dam di luar Tanah Haram bertentangan dengan maqashid syariah ibadah haji.

Bahkan jika daging bisa dikirim kembali ke Mekkah dalam keadaan segar, tetap ada perbedaan pendapat soal keabsahannya.

Bagi mereka, nilai ibadah tidak sekadar hasil atau distribusi manfaat, tapi pemenuhan syarat sah ibadah itu sendiri.

Dari sisi sosial-politik, langkah pemerintah tampaknya ingin menunjukkan kehadiran negara dalam tata kelola haji yang modern, efisien, dan berdampak sosial.

Penunjukan BAZNAS sebagai mitra dalam pendistribusian daging dam menjadi cara untuk meningkatkan manfaat sosial di dalam negeri.

Ini tentu sejalan dengan semangat Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan prinsip perlindungan jemaah.

Namun, ketika manfaat dijadikan dalih untuk merombak ketentuan ibadah yang bersifat ta‘abbudi, perlu kehati-hatian ekstra agar tidak tergelincir pada tafsir kemaslahatan yang sempit dan jangka pendek.

Kita juga harus mewaspadai dampak lanjutan dari kebijakan ini. Jika pemerintah membolehkan penyembelihan dam di luar Tanah Haram hari ini, apakah esok hari akan ada relaksasi serupa terhadap kewajiban manasik lainnya atas nama efisiensi?

Bagaimana jika otoritas negara asal jemaah dari negara lain mulai menuntut fleksibilitas serupa atas praktik-praktik ibadah haji?

Hal ini dapat membuka preseden baru yang sulit dikendalikan.

Dalam konteks ekonomi, memang ada potensi besar. Pengolahan daging dam di Indonesia akan menciptakan rantai nilai yang lebih luas, dari peternakan, logistik, hingga industri pangan olahan.

Negara dapat mengoptimalkan industri halal dalam negeri, mengurangi pemborosan, serta menumbuhkan ekonomi kerakyatan.

Namun, keuntungan ekonomi tidak boleh mengorbankan esensi ibadah.

Ibadah haji bukan transaksi logistik, melainkan perjalanan spiritual yang harus tunduk pada batasan syariat, bukan administrasi negara.

Solusi terbaik yang bisa ditempuh bukan mengubah tempat penyembelihan, tapi menguatkan tata kelola dam di Tanah Haram.

Kerja sama dengan IDB melalui Project Adhahi perlu diperkuat dan diawasi secara ketat.

Pemerintah dapat menugaskan lembaga profesional dan lembaga zakat yang kredibel untuk mengelola dan memastikan pemotongan dam sah secara syar’i, higienis, dan sampai kepada fakir miskin yang berhak.

Digitalisasi sertifikat, pelaporan real-time, hingga pengawasan lintas kementerian bisa menjadi solusi jangka panjang tanpa harus mengubah fondasi fikih yang mapan.

Jika pelaksanaan dam di Tanah Haram sudah dinilai rawan penyimpangan, bukan berarti solusinya adalah memindahkannya ke tanah air.

Itu seperti memindahkan salat Jumat ke hari Kamis karena masjid terlalu ramai. Akar masalahnya adalah manajemen, bukan lokasi ibadahnya.

Pada akhirnya, penyelenggaraan ibadah haji tidak boleh didikte oleh logika manajerial belaka.

Ibadah adalah bentuk kepasrahan total pada ketentuan Ilahi, yang tidak selalu bisa dikompromikan oleh kemudahan teknis atau efisiensi distribusi.

Pemerintah harus bijak menimbang, agar dalam upaya memperbaiki layanan, tidak justru menabrak batas-batas suci syariat.

Fiqih Haji Hukum Islam Ibadah Haji Kementerian Agama Tata Kelola Dam
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleQR Warung dan Ketakutan Amerika
Next Article Kementan Tegaskan Sapi Aman dari PMK Jelang Idul Adha

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Eks Menag: Pembagian Kuota Haji Harus Adil dan Proporsional

28 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Perselisihan Jabatan dan Integritas Pilkada

Editorial Udex Mundzir

Bebas Bertanggung Jawab

Gagasan Syamril Al-Bugisyi

Rp10 Ribu, Antara Anggaran dan Harapan

Opini Alfi Salamah

Panduan Lengkap Ibadah Qurban: Hukum, Syarat, dan Pelaksanaannya

Islami Udex Mundzir

Tips Manajemen Waktu Agar Lebih Produktif

Daily Tips Ericka
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.