Pilkada adalah refleksi lokal demokrasi. Namun, di balik harapan akan pemilihan yang jujur, praktik “serangan fajar” masih membayangi. Masa tenang yang seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemilih kerap berubah menjadi ajang transaksi suara. Ini mencederai semangat Pilkada yang bertujuan memilih pemimpin daerah berdasarkan kompetensi, bukan materi.
“Serangan fajar” mengacu pada praktik pemberian uang atau barang oleh kandidat atau tim sukses untuk memengaruhi keputusan pemilih. Dalam konteks Pilkada, praktik ini sering kali dilakukan pada malam terakhir sebelum hari pencoblosan. Bentuknya bervariasi, mulai dari uang tunai, sembako, hingga voucher pulsa.
Fenomena ini kerap terjadi di banyak daerah. Laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan bahwa pada Pilkada sebelumnya, ratusan kasus politik uang terdeteksi, meskipun hanya sebagian kecil yang sampai ke pengadilan. Salah satu faktornya adalah modus yang semakin canggih dan sulit dilacak, seperti pembayaran melalui transfer atau distribusi sembako melalui perantara.
Praktik “serangan fajar” sulit diberantas karena dua alasan utama: kondisi ekonomi pemilih yang rentan dan lemahnya penegakan hukum. Di daerah-daerah tertentu, di mana angka kemiskinan masih tinggi, bantuan berupa uang atau barang dianggap solusi instan bagi kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, kondisi ini dieksploitasi oleh kandidat yang berorientasi pada kemenangan instan, bukan visi pembangunan.
Secara hukum, politik uang adalah pelanggaran serius. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada jelas menyatakan bahwa pemberian uang atau barang untuk memengaruhi pilihan pemilih adalah tindak pidana. Sanksinya berat, yakni penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar. Namun, lemahnya pengawasan, terutama di wilayah terpencil, membuat pelaku sering kali lolos dari jerat hukum.
Praktik “serangan fajar” memiliki dampak merusak yang signifikan bagi demokrasi lokal. Pilkada seharusnya menjadi proses memilih pemimpin berdasarkan program kerja dan integritas. Politik uang mencederai esensi ini dengan menjadikan suara pemilih sebagai barang dagangan.
Selain itu, kandidat yang mengandalkan politik uang harus mengeluarkan biaya besar selama kampanye. Akibatnya, saat terpilih, mereka cenderung mencari cara untuk “mengembalikan modal”, yang sering kali melalui praktik korupsi. Ketika pemilih menyadari suara mereka bisa dibeli, kepercayaan terhadap Pilkada dan lembaga penyelenggara pemilu menurun. Ini berbahaya bagi demokrasi, karena dapat memunculkan apatisme politik di masa depan.
Meski tantangan besar, beberapa langkah telah diambil untuk meminimalkan praktik ini. Bawaslu, bersama Panitia Pengawas Pemilu di tingkat kecamatan, aktif mengawasi masa tenang dengan patroli. Aparat keamanan juga dilibatkan untuk memantau daerah-daerah rawan.
Namun, pengawasan semata tidak cukup. Salah satu kunci keberhasilan adalah partisipasi aktif masyarakat. Sayangnya, banyak pemilih yang enggan melaporkan kasus politik uang karena khawatir akan dampak sosial atau merasa pesimis akan perubahan.
Tokoh agama dan adat memiliki peran penting dalam menyuarakan nilai-nilai antikorupsi. Di masyarakat yang religius, seperti Indonesia, pandangan moral dari ulama dan pemimpin adat dapat menjadi tameng kuat melawan politik uang. Pendekatan ini terbukti efektif di beberapa daerah yang mulai menunjukkan penurunan kasus “serangan fajar”.
Mengatasi praktik ini membutuhkan strategi berkelanjutan. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus lebih aktif mengedukasi pemilih tentang pentingnya menjaga integritas suara. Pilkada adalah kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar kompeten, bukan yang sekadar memberikan imbalan materi.
Aparat penegak hukum harus lebih aktif memproses laporan politik uang. Perlindungan terhadap saksi dan pelapor juga harus diperkuat agar masyarakat merasa aman untuk melaporkan pelanggaran.
Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada bantuan instan dari kandidat, perlu ada program pemberdayaan ekonomi yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan jangka panjang. Semua pihak—pemerintah, masyarakat, tokoh agama, dan media—harus bersinergi untuk menciptakan budaya politik yang bersih. Media, khususnya, dapat berperan dengan mengungkap kasus politik uang secara transparan dan mendidik masyarakat tentang bahaya praktik ini.
“Serangan fajar” adalah pengkhianatan terhadap semangat Pilkada. Praktik ini tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga menciptakan lingkaran setan korupsi di pemerintahan lokal. Untuk memutus rantai ini, semua elemen masyarakat harus bersatu dan berperan aktif.
Pilkada adalah peluang untuk membangun daerah yang lebih baik. Mari kita jaga momen ini dengan menolak segala bentuk politik uang. Suara kita adalah kekuatan perubahan, bukan komoditas yang bisa dibeli.