Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

Menag di Vatikan: Diplomasi Iman dan Kemanusiaan

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Selasa, 28 Oktober 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

Ketika gizi dijadikan proyek, jangan biarkan guru menanggung lapar yang tak terlihat: lapar keadilan.
Lisda LisdiawatiLisda Lisdiawati27 Oktober 2025 Editorial
Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?
Siswa sedang membawa MBG (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Proyek Makan Bergizi (MBG) kini menjadi wajah baru ambisi besar pemerintah. Ia diklaim sebagai langkah strategis untuk memutus rantai stunting, meningkatkan mutu pendidikan, dan memperkuat daya saing bangsa. Namun, di balik jargon “anak sehat, bangsa kuat”, tersimpan satu pertanyaan sederhana yang menggigit: siapa yang sebenarnya kenyang dari proyek ini?

Anggaran MBG bukan angka kecil. Triliunan rupiah digelontorkan untuk menyuplai makanan bagi puluhan juta siswa di seluruh Indonesia. Distribusinya melibatkan dapur-dapur daerah, tenaga kesehatan, pemasok bahan pangan, hingga satuan pendidikan. Di atas kertas, konsepnya rapi. Tapi di lapangan, aroma ketimpangan mulai tercium.

Guru, sosok yang menjadi garda terdepan pendidikan, justru ikut menanggung beban tambahan dari proyek ini. Mereka diminta memastikan makanan tiba tepat waktu, mencatat data penerima, mengawasi kualitas, bahkan ikut menenangkan orang tua ketika pasokan terlambat. Namun, dari semua kerja ekstra itu, berapa sebenarnya yang mereka dapat? Jawabannya, nihil.

Di banyak sekolah, guru diminta menandatangani tanggung jawab moral tanpa diikuti kompensasi material. Surat tugas datang, tapi tanpa lampiran honor. Tanggung jawab mereka bertambah, waktu istirahat berkurang, tapi penghasilan tetap sama. Ironisnya, mereka bahkan tidak masuk dalam daftar penerima manfaat.

Inilah wajah khas dari proyek berlabel sosial di negeri ini: semangat besar di pusat, beban berat di bawah. Setiap kali sebuah proyek lahir dengan jargon “untuk rakyat”, hampir selalu guru yang menjadi tangan pelaksana paling sibuk. Tapi ketika laporan keberhasilan dibacakan, nama mereka jarang disebut.

Proyek MBG bisa menjadi langkah monumental bila dikelola dengan adil. Tapi jika manajemennya tidak hati-hati, ia hanya akan menjadi proyek politik yang mengenyangkan segelintir pihak di atas meja tender. Dapur rakyat sibuk memasak, tapi dapur kekuasaan yang kenyang duluan.

Guru bukan pekerja logistik, apalagi petugas pengawas makanan. Mereka pendidik. Jika mereka dilibatkan dalam pengawasan, negara wajib memberi kompensasi sesuai beban kerja tambahan. Tidak sekadar “partisipasi moral”, tetapi penghargaan profesional.

Kita sering bicara soal kesejahteraan anak-anak. Tapi bagaimana mungkin anak bisa belajar dengan tenang, jika guru yang mengajar justru menanggung stres tambahan tanpa penghargaan layak?

Beban tambahan tanpa imbalan bukan hanya tidak adil, tapi juga tidak berkelanjutan. Dalam jangka panjang, guru akan kehilangan semangat partisipatif. Mereka akan memandang proyek seperti MBG bukan sebagai gerakan sosial, melainkan pekerjaan administratif yang melelahkan.

Sistem pengawasan proyek ini juga menimbulkan pertanyaan. Siapa sebenarnya yang mengaudit dapur dan pengadaan bahan pangan? Bagaimana mekanisme pengawasan mutu dilakukan di setiap daerah? Apakah ada laporan publik tentang harga bahan, biaya distribusi, dan transparansi kontrak penyedia?

Tanpa kejelasan, proyek besar ini berisiko berubah menjadi ladang rente. Sejarah menunjukkan, setiap kali pemerintah meluncurkan proyek dengan nilai besar, celah penyimpangan hampir selalu muncul di tahap distribusi dan pengadaan.

Guru mungkin tidak mencicipi uang proyek, tapi merekalah yang paling mudah disalahkan ketika terjadi masalah di lapangan. Bila ada makanan basi, guru yang dimarahi. Bila data terlambat, guru yang dipanggil. Bila siswa sakit, guru yang disalahkan. Tapi bila proyek berhasil, guru cukup diminta tepuk tangan.

Padahal, keberhasilan MBG bukan hanya soal makanan tiba di sekolah, melainkan juga soal manusia yang menyiapkannya. Guru adalah bagian penting dari rantai implementasi itu. Tidak logis jika mereka diberi tanggung jawab tanpa perlindungan.

Jika pemerintah serius ingin menjadikan MBG sebagai investasi gizi jangka panjang, maka keadilan bagi tenaga pelaksana harus menjadi bagian integral dari desain kebijakan. Tidak ada gizi tanpa kesejahteraan bagi yang mengawalnya.

Anggaran triliunan rupiah seharusnya mampu menyisihkan sebagian untuk kompensasi tenaga pendidikan yang ikut bekerja ekstra. Tidak perlu besar, cukup adil. Karena tidak ada proyek pendidikan yang bisa berhasil tanpa guru yang sejahtera.

Lebih jauh, proyek ini harus transparan. Publik berhak tahu: berapa biaya per porsi, siapa penyedia bahan, siapa pengawas mutu, dan bagaimana evaluasi dilakukan. Laporan itu bukan hanya untuk auditor, tapi juga untuk masyarakat yang menanggung pajak.

Guru berhak tahu ke mana arah kebijakan yang mereka jalankan. Mereka tidak boleh diperlakukan seperti pelaksana tanpa suara. Karena tanpa keikutsertaan mereka, proyek ini hanya akan menjadi slogan.

Dalam setiap piring yang disajikan kepada anak-anak, ada tangan-tangan guru yang memastikan semuanya berjalan. Tapi jangan biarkan tangan itu kosong dari penghargaan. Sebab bangsa ini sudah terlalu lama hidup dari retorika “pengabdian”, tanpa keadilan yang nyata.

Negara tidak bisa terus menerus menumpuk tanggung jawab di pundak mereka, sementara keuntungan politik dan ekonomi mengalir ke pihak lain. Guru bukan relawan permanen negara. Mereka profesional yang bekerja demi masa depan bangsa. Dan profesionalisme, di mana pun, layak dihargai.

Kita setuju bahwa gizi adalah hak anak bangsa. Tapi kesejahteraan guru juga hak yang tak kalah penting. Jika MBG ingin berhasil, ia harus memberi makan dua pihak sekaligus: anak-anak yang lapar di sekolah, dan guru-guru yang lapar akan keadilan.

Guru Indonesia Keadilan Sosial Keamanan Pangan Proyek MBG Stunting
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleLarangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

Informasi lainnya

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025

Menag di Vatikan: Diplomasi Iman dan Kemanusiaan

26 Oktober 2025

Waspadai, Purbaya Anak Buah Luhut

9 September 2025

Bersih-Bersih Kabinet Prabowo Dimulai

9 September 2025

Orde Baru Jauh Lebih Baik

8 September 2025

Jokowi, Mengapa Masih Ikut Campur?

4 September 2025
Paling Sering Dibaca

Menggapai Suci Haji: Panduan Menyeluruh Lahir dan Batin

Islami Dexpert Corp

5 Operasi yang Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan, Cek Sebelum Berobat

Daily Tips Assyifa

Peta Jalan Pendidikan: Benang Kusut yang Perlu Diurai

Opini Udex Mundzir

Rina Sa’adah: Dapur MBG Harus Libatkan UMKM Lokal

Bisnis Silva

Indonesia Memble Hadapi Tarif Trump

Opini Udex Mundzir
Berita Lainnya
Kesehatan
Alfi Salamah23 Oktober 2025

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Timor Leste Resmi Bergabung ke ASEAN pada KTT Kuala Lumpur

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Pariwisata Terancam, Efisiensi Anggaran 2025 Picu Kekhawatiran

Kasus Radiasi Cikande Masuk Tahap Penyidikan, PT PMT Dianggap Lalai

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.