Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Lepaskan Ketegangan, Raih Kedamaian

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 24 Oktober 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Stop Putar Lagu atau Musik Lokal Indonesia

Ketika niat menghargai karya berubah jadi risiko pidana karena rumitnya izin dan tumpang tindih lembaga.
Udex MundzirUdex Mundzir26 Juli 2025 Editorial
Pemutaran Musik Lokal dan Risiko Hukum
Ilustrasi Pemutaran Musik Lokal dan Risiko Hukum.
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Ketakutan kini menyebar di kalangan pelaku usaha kecil, pembicara publik, hingga penyelenggara acara. Bukan karena resesi, melainkan karena pemutaran lagu. Kasus pemilik Mie Gacoan Bali yang jadi tersangka setelah memutar lagu tanpa izin menjadi pemicu keputusan ekstrem: banyak yang kini stop memutar lagu—khususnya musik lokal Indonesia.

Speaker dimatikan, playlist disingkirkan. Ini bukan bentuk anti terhadap karya anak bangsa, tapi tindakan preventif agar tidak terjerat hukum pidana yang rumit dan tak transparan.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta secara tegas mewajibkan izin atas penggunaan komersial sebuah lagu. Namun, batasan antara penggunaan pribadi dan komersial sering kali kabur dalam praktik.

Bagi pemilik toko, kafe, restoran, hingga pembicara publik, lagu biasanya diputar untuk membangun suasana. Tapi menurut hukum, itu sudah termasuk “komunikasi publik” dan wajib izin eksplisit dari pemilik hak.

Masalahnya, tidak ada satu pun pintu resmi yang menyederhanakan proses perizinan. Di Indonesia, tidak ada katalog nasional yang menyatakan lagu A milik siapa, dikelola oleh siapa, dan bagaimana mendapatkan izin legalnya.

Satu lagu bisa punya banyak pemilik hak: pencipta lagu, penyanyi, label rekaman, dan publisher. Setiap pihak ini bisa diwakili oleh LMK berbeda.

Saat ini ada lebih dari enam Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang beroperasi di Indonesia. Misalnya KCI mengelola hak cipta pencipta lagu, WAMI mengelola hak pelaku pertunjukan, dan RAI mengelola hak produser rekaman.

Sayangnya, antar-LMK ini tidak terintegrasi. Pelaku usaha harus bernegosiasi satu per satu, padahal mereka belum tentu tahu LMK mana yang punya wewenang sah atas lagu yang ingin diputar.

Parahnya lagi, satu lagu bisa dikelola oleh dua LMK berbeda tergantung jenis haknya. Yang satu untuk hak cipta, yang satu lagi untuk hak terkait.

Misalnya, untuk lagu terkenal yang dibawakan oleh artis A, Anda harus mengurus izin ke pencipta lagu dan ke pihak label yang menaungi penyanyi. Ini berarti membayar dua kali.

Situasi ini makin rumit karena banyak LMK tidak mencantumkan daftar lagu yang mereka kelola secara publik. Bahkan jika mencantumkan, tidak disertai kontak atau prosedur izin yang mudah diakses.

Bagi pelaku UMKM atau penyelenggara event yang bukan profesional di industri musik, urusan ini menjadi beban yang tidak sebanding dengan manfaat. Mereka lebih memilih diam daripada berisiko.

Apalagi, sanksi yang diatur dalam UU Hak Cipta tergolong berat. Pelaku pelanggaran bisa dihukum hingga 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp1 miliar.

Artinya, kesalahan kecil—seperti memutar lagu lokal saat kelas motivasi atau saat jeda pelatihan—bisa menjadi ancaman pidana serius.

Di era media sosial, dokumentasi event bisa tersebar luas. Video yang tak sengaja menampilkan lagu bisa digunakan sebagai bukti pelanggaran. Ini menimbulkan ketakutan besar bagi pelaku usaha.

Ironisnya, lagu-lagu luar negeri jarang disentuh dalam persoalan ini. Alasannya sederhana: pemilik haknya tinggal di luar negeri dan sulit menuntut ke Indonesia kecuali melalui perjanjian besar antar-negara.

Akibatnya, pelaku usaha justru memilih memutar lagu luar atau lagu bebas royalti dari platform seperti YouTube Audio Library atau Epidemic Sound. Lagu lokal malah dihindari.

Padahal musik lokal seharusnya hadir di ruang publik sebagai bentuk dukungan terhadap industri kreatif dalam negeri. Tapi sekarang, keberadaan lagu Indonesia justru dianggap sebagai risiko hukum.

Keadaan ini memperlihatkan ironi kebijakan negara. Di satu sisi ingin memajukan industri musik nasional, tapi di sisi lain gagal menyediakan infrastruktur legal yang memudahkan pelaku usaha berkontribusi secara legal.

Tak hanya soal izin yang rumit. Banyak pelaku usaha tidak tahu bahwa tidak semua lagu memerlukan izin. Lagu kebangsaan seperti “Indonesia Raya” masuk dalam domain publik. Tapi tidak ada daftar resmi yang menyatakan lagu-lagu apa saja yang bebas digunakan.

Minimnya edukasi hukum menjadikan pelaku usaha memilih untuk sepenuhnya menghindari pemutaran lagu lokal. Bukan karena tidak peduli, tapi karena bingung dan takut.

Ketiadaan lisensi kolektif (blanket license) juga menjadi masalah besar. Di negara-negara maju, ada skema satu kali bayar untuk akses ratusan ribu lagu dari berbagai hak cipta.

Di Indonesia, konsep lisensi semacam itu belum diterapkan secara efektif. Justru yang terjadi adalah sistem yang terfragmentasi, mahal, dan membingungkan.

UMKM dan pelaku event non-komersial seharusnya bisa mendapat lisensi murah atau bahkan gratis jika hanya menggunakan musik sebagai latar suasana, bukan untuk keuntungan langsung.

Namun sampai saat ini tidak ada klasifikasi pemanfaatan yang jelas. Semua pelaku usaha diperlakukan sama, seolah-olah mereka semua penyiar radio atau stasiun TV.

Ini menciptakan ketimpangan dalam perlakuan hukum. Pelaku usaha kecil dipaksa menghadapi beban legal yang setara dengan korporasi besar.

Masalah distribusi royalti juga menambah keraguan. Tidak semua LMK transparan dalam mengelola dan menyalurkan dana royalti yang mereka pungut.

Banyak pencipta lagu justru tidak pernah menerima royalti, meski lagunya sering diputar di ruang publik. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa sistem ini lebih menguntungkan pengelola daripada pencipta.

Pemerintah seharusnya hadir. Negara tak bisa lepas tangan dalam urusan yang menyangkut budaya, hukum, dan ekonomi masyarakat.

Pertama, harus dibentuk satu portal nasional terpadu untuk seluruh informasi dan proses perizinan musik. Ini bisa dikelola oleh Dirjen Kekayaan Intelektual atau lembaga khusus.

Portal ini harus mencantumkan katalog lagu, jenis hak yang melekat, dan LMK yang mewakili. Semua harus bisa diakses publik dengan mudah dan gratis.

Kedua, pemerintah perlu mendorong integrasi antar-LMK. Jika tidak memungkinkan menjadi satu, setidaknya dibuat sistem yang saling terhubung dan tidak saling tumpang tindih.

Ketiga, harus dibuat kategori izin dan lisensi sesuai skala usaha. UMKM, event komunitas, dan penggiat edukasi tidak boleh dibebani sistem yang sama dengan industri besar.

Keempat, perlu sosialisasi hukum secara luas. Bukan hanya melalui seminar, tapi melalui media sosial, pusat layanan UMKM, bahkan lewat platform digital yang sering digunakan pelaku usaha.

Kelima, LMK harus diawasi dan diaudit secara berkala. Mereka wajib melaporkan pendapatan dan distribusi royalti secara terbuka. Seniman berhak tahu berapa banyak yang dikumpulkan atas nama karya mereka.

Tanpa pembenahan menyeluruh, pelaku usaha akan terus mengambil jalan pintas: tidak memutar lagu lokal sama sekali. Ini adalah tragedi budaya yang tidak boleh terus berlangsung.

Musik lokal seharusnya hadir di tiap sudut kehidupan publik. Tapi jika hukum berubah menjadi jebakan, maka ruang bagi budaya pun ikut menyempit.

Negara perlu memilih: apakah ingin membesarkan industri musik dengan melibatkan masyarakat, atau justru membatasi akses publik karena regulasi yang tidak bersahabat?

Hak Cipta Musik Musik Lokal Indonesia Pemutaran Lagu Komersial Perizinan LMK UMKM dan Regulasi
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleHasto Divonis 3,5 Tahun Penjara Terkait Suap KPU
Next Article Musik AI Tanpa Hak Cipta

Informasi lainnya

Waspadai, Purbaya Anak Buah Luhut

9 September 2025

Bersih-Bersih Kabinet Prabowo Dimulai

9 September 2025

Orde Baru Jauh Lebih Baik

8 September 2025

Jokowi, Mengapa Masih Ikut Campur?

4 September 2025

Mengakhiri Bayang Jokowi

4 September 2025

Selamat Tinggal Agustus Kelabu: Tinggalkan Joget-joget di Istana

1 September 2025
Paling Sering Dibaca

Jangan Mencari Tumbal demi Kemenangan Pilkada di Sampang

Editorial Udex Mundzir

Sepertinya Prabowo Tak Akan Berani Pecat Bahlil

Editorial Udex Mundzir

Cara Membuat Kimchi Korea Autentik

Food Alfi Salamah

10 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan

Islami Alfi Salamah

Ciri Orang Beriman: Sujud dan Ketundukan kepada Allah

Islami Assyifa
Berita Lainnya
Kesehatan
Alfi Salamah23 Oktober 2025

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Kasus Radiasi Cikande Masuk Tahap Penyidikan, PT PMT Dianggap Lalai

Trump Resmikan Fase Dua Kesepakatan Gencatan Gaza

Menkeu Purbaya Pertimbangkan Pemangkasan PPN Tahun 2026

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.