Universitas Indonesia (UI) kembali menorehkan prestasi di kancah internasional. Dalam pemeringkatan QS World University Rankings (QS WUR) 2026, UI berhasil masuk 10 besar universitas terbaik di Asia Tenggara.
Posisi ini memperlihatkan komitmen UI dalam meningkatkan kualitas riset, pengajaran, dan kolaborasi global. Tidak hanya mendongkrak reputasi nasional, prestasi ini juga menegaskan posisi UI sebagai salah satu kampus rujukan di Asia.
Namun, di balik kejayaan peringkat global, UI justru diterpa badai integritas yang mengguncang kepercayaan publik.
Kasus kelulusan kilat Bahlil Lahadalia — tokoh kontroversial yang dijuluki “predator tambang” — menjadi noda besar dalam sejarah akademik UI.
Bahlil, yang selama ini dikenal sebagai figur bisnis-politik agresif, berhasil meraih gelar doktor dari UI hanya dalam waktu yang dinilai “super kilat”. Publik langsung menyorot, bagaimana mungkin seorang menteri yang sibuk, dengan rekam jejak kontroversial, bisa menyelesaikan program doktoral dalam tempo yang tak wajar?
Lebih ironis, gelar ini kemudian digunakan sebagai legitimasi moral dan politik, seolah menjadi perisai dari kritik tajam publik.
Kasus Bahlil menjadi preseden buruk. Banyak orang bertanya: apakah UI hanya sekadar pabrik gelar bagi elite politik? Apakah tradisi akademik dan etika kampus hanya slogan kosong di poster promosi?
Di tingkat global, UI boleh saja naik peringkat. Namun, di mata masyarakat, penghargaan tertinggi adalah integritas.
Gelar akademik bukan sekadar selembar kertas. Ia adalah simbol perjuangan intelektual, hasil riset mendalam, dan pengabdian pada kebenaran ilmiah. Ketika gelar disulap jadi instrumen politik, harga diri institusi akademik runtuh.
Kasus ini mencoreng nama UI di mata publik. Apalagi, UI selama ini mengklaim diri sebagai kampus dengan tradisi kejujuran, intelektualitas, dan independensi.
Ketika berita Bahlil lulus dengan kecepatan luar biasa viral, banyak mahasiswa dan alumni merasa dihina. Rasa bangga pada almamater tercabik. Mereka yang menghabiskan bertahun-tahun di laboratorium, yang berjuang mengurus publikasi internasional, mendadak merasa usaha mereka dipermainkan.
Fakta bahwa UI mengonfirmasi proses kelulusan Bahlil sebagai “sudah sesuai prosedur” semakin memperdalam luka. Alih-alih membangun kepercayaan dengan membuka detail proses akademik, UI memilih menutup rapat detail disertasi dan sidang.
Ini menunjukkan betapa rapuhnya benteng integritas akademik di hadapan kekuasaan.
Apakah UI sadar bahwa keputusan ini mematikan moral akademik ribuan mahasiswanya? Apakah UI benar-benar rela menjadi alat legitimasi elite politik semata?
Dalam demokrasi sehat, kampus seharusnya jadi benteng moral terakhir. Ketika ruang politik dipenuhi transaksi dan kepentingan, kampus seharusnya tetap menjaga idealisme.
Ironisnya, UI yang selama ini dielu-elukan sebagai “kampus peradaban” justru gagal menjadi teladan. Keputusan meluluskan Bahlil secara kilat seakan menegaskan bahwa jabatan bisa membeli segalanya, termasuk gelar akademik tertinggi.
Luka ini bukan luka kecil.
Mahasiswa akan kehilangan motivasi jika mereka tahu bahwa jerih payah dan integritas kalah oleh kekuasaan. Para dosen akan gamang menegakkan standar akademik, karena preseden sudah diciptakan: jika punya posisi politik, prosedur bisa disesuaikan.
Tidak cukup dengan sekadar mengandalkan peringkat global. UI perlu membangun kembali integritas di dalam negeri. Tanpa kepercayaan publik, peringkat hanyalah angka.
UI harus mulai dari keterbukaan. Jika memang yakin tidak ada pelanggaran, buka detail disertasi Bahlil, paparkan durasi bimbingan, rincian penelitian, hingga kontribusi ilmiah yang dihasilkan.
Kemudian, UI perlu memperkuat audit etika akademik. Peninjauan ulang standar kelulusan harus melibatkan pengawas independen, agar tidak hanya menjadi formalitas internal.
Ketiga, UI harus mengembalikan marwah gelar akademik. Gelar bukan hadiah politik, bukan pula panggung promosi personal. Gelar adalah puncak pengakuan keilmuan yang seharusnya lahir dari proses panjang, kritis, dan transparan.
Jika UI gagal memperbaiki ini, maka publik akan semakin yakin bahwa kampus hanya pabrik legitimasi elite, bukan laboratorium kebenaran.
Peringkat global bisa menjadi alat diplomasi internasional. Tapi di rumah sendiri, masyarakat ingin kampus yang menjaga nilai, bukan sekadar mengejar pamor.
Inilah momen evaluasi besar bagi UI.
Jika ingin tetap dihormati sebagai universitas terkemuka, UI harus berani menegakkan kebenaran, meski menyakitkan. Berani mempertahankan standar, meski melawan arus.
Ketika kampus menyerah pada tekanan politik, di saat itu pula ia kehilangan rohnya.
Universitas adalah benteng terakhir akal sehat bangsa. Jika benteng ini runtuh, siapa lagi yang bisa diandalkan untuk melahirkan pemimpin yang jujur, intelektual yang berintegritas, dan ilmuwan yang berani menyuarakan kebenaran?
Bukan hanya sekadar slogan “Veritas, Probitas, Iustitia”.
Kebenaran, kejujuran, dan keadilan seharusnya menjadi napas yang dihirup setiap sudut kampus. Jika ketiga nilai itu dikorbankan, maka nama Universitas Indonesia hanya akan jadi label kosong.
Dan ketika itu terjadi, kita semua yang kalah.