Jakarta – PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), salah satu BUMN konstruksi andalan nasional, menghadapi tekanan finansial yang semakin berat pada paruh pertama 2025. Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis melalui Bursa Efek Indonesia (BEI), pendapatan perusahaan mengalami penurunan signifikan hingga 22,2 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Pendapatan WIKA tercatat sebesar Rp5,858 triliun, turun dari sebelumnya Rp7,53 triliun. Penurunan paling tajam terjadi pada segmen infrastruktur dan gedung, yang merosot 32,3 persen menjadi Rp2,343 triliun. Sektor industri juga tidak luput dari tekanan, dengan pendapatan menurun 29,7 persen menjadi Rp1,613 triliun.
Meski beban pokok pendapatan berhasil ditekan sebesar 21,8 persen, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengimbangi tekanan. Laba kotor WIKA turun 26,8 persen menjadi Rp472,55 miliar, dan laba usaha jatuh drastis hingga 96,08 persen, hanya tersisa Rp133,2 miliar.
Faktor lain yang turut memperparah kondisi keuangan adalah anjloknya pendapatan lain-lain sebesar 79,6 persen. Tak ada lagi kontribusi dari restrukturisasi utang, yang pada tahun lalu sempat menghasilkan keuntungan Rp3,944 triliun.
Di sisi lain, beban keuangan justru meningkat menjadi Rp1,38 triliun. Kerugian dari entitas pengendalian bersama mencapai Rp542,31 miliar, ditambah pajak final Rp109,55 miliar.
Alhasil, WIKA mencatat rugi sebelum pajak sebesar Rp1,693 triliun dan rugi bersih mencapai Rp1,663 triliun. Defisit akumulatif perusahaan pun melebar 17,8 persen menjadi Rp11,2 triliun per akhir Juni 2025.
Total ekuitas WIKA terkikis 14,4 persen menjadi Rp10,1 triliun. Sementara itu, utang perusahaan masih berada di level tinggi, yakni Rp50,04 triliun, meski sedikit menurun dari posisi Desember 2024 yang mencapai Rp51,64 triliun.
Di tengah kondisi keuangan yang kian terdesak, manajemen WIKA tengah menyusun berbagai strategi pemulihan. Beberapa langkah yang dirancang antara lain menjalin kemitraan strategis, efisiensi operasional melalui sistem kerja hybrid, penyesuaian biaya pemasaran, serta kembali membuka diskusi dengan kreditur untuk negosiasi pelunasan utang.
Manajemen optimistis bahwa strategi tersebut dapat membalikkan keadaan, meskipun kelangsungan hidup perusahaan kini sangat tergantung pada dukungan keuangan dari pemerintah, termasuk kemungkinan mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN).