Hobart – Tragedi lingkungan kembali menghantam pesisir barat laut Pulau Tasmania, Australia. Sebanyak 157 paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) ditemukan terdampar di dekat Sungai Arthur. Lebih dari 60 ekor dilaporkan mati, sementara sisanya berjuang bertahan hidup di tengah kondisi yang memprihatinkan.
Kejadian ini pertama kali diketahui warga setempat pada Rabu (19/2/2025). Paus-paus itu diduga telah terdampar selama 24 hingga 48 jam, membuat proses penyelamatan menjadi semakin sulit. Tim konservasi dan dokter hewan kini berada di lokasi untuk memantau sekitar 90 paus yang masih hidup, termasuk beberapa anak paus.
Brendon Clarke, juru bicara Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan Tasmania, menjelaskan sebagaimana dikutip dari BBC bahwa kondisi medan yang sulit membuat operasi penyelamatan menghadapi tantangan besar.
“Tinjauan awal menunjukkan bahwa upaya untuk mengapungkan paus-paus kembali ke laut akan sangat sulit mengingat lokasi terpencil, kondisi laut yang buruk, serta minimnya peralatan khusus di daerah tersebut,” ujar Clarke.
Ia menambahkan bahwa tim penyelamat kini memprioritaskan pemilahan paus yang memiliki peluang hidup terbesar, sambil memastikan hewan-hewan tersebut tetap hidup dan dalam kondisi nyaman selama proses penyelamatan.
Namun, upaya ini bukan tanpa risiko.
“Ombak besar dan kondisi cuaca ekstrem mengancam keselamatan personel. Paus yang sekarat bisa bergerak liar, sehingga berpotensi melukai tim penyelamat,” lanjut Clarke.
Jocelyn Flint, warga sekitar, menjadi saksi pertama yang melihat kejadian memilukan itu.
“Ada paus yang masih bayi bersama keluarganya. Mata mereka terbuka, seolah-olah meminta bantuan. Benar-benar pemandangan yang menyayat hati,” kata Flint kepada ABC News Australia.
Insiden paus terdampar bukanlah hal baru bagi Tasmania. Pada 2020, sekitar 470 paus pilot terdampar di Pelabuhan Macquarie, dengan 350 ekor ditemukan mati. Dua tahun kemudian, 200 paus kembali terdampar di lokasi yang sama.
Ahli mamalia laut menduga perilaku sosial paus menjadi faktor utama fenomena ini. Karena hidup berkelompok dan sangat bergantung pada komunikasi, satu ekor paus yang tersesat bisa menarik seluruh kawanan ke perairan dangkal. Faktor lain seperti perburuan ikan atau navigasi yang terganggu akibat perubahan medan bawah laut juga bisa menyebabkan paus salah arah.
Meskipun tim penyelamat pernah berhasil menyelamatkan sebagian paus dalam kasus sebelumnya, Clarke menegaskan bahwa kondisi di Sungai Arthur kali ini jauh lebih kompleks.
“Di lokasi lain, kami bisa menggunakan perahu atau alat bantu untuk mendorong paus ke laut. Tapi di sini, akses terbatas dan gelombang sangat kuat. Keselamatan tim menjadi prioritas utama,” tegasnya.
Selain itu, keberadaan hiu di sekitar perairan juga menjadi ancaman tambahan, baik bagi paus yang sekarat maupun tim penyelamat.
Pihak berwenang telah memperingatkan warga agar menghindari lokasi, terutama karena kebakaran hutan di sekitar area membuat akses semakin sulit.
Peristiwa ini kembali mengingatkan dunia akan krisis lingkungan dan tantangan besar dalam perlindungan satwa laut. Peneliti berharap, kajian lebih dalam dapat menemukan solusi untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa depan.