Sayangnya, demokrasi kita tidak memilih orang baik. Pilihan rakyat sering kali jatuh pada mereka yang populer, bukan yang berkualitas. Pilkada, termasuk Pilgub Jabar 2024, adalah cerminan dari tren ini, di mana elektabilitas lebih sering ditentukan oleh citra dibandingkan substansi.
Pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, misalnya, mendominasi survei dengan angka elektabilitas di atas 65% menurut enam lembaga survei berbeda. Dukungan yang masif ini tentu mencerminkan popularitas mereka di tengah masyarakat Jawa Barat. Namun, apakah popularitas ini berbanding lurus dengan kemampuan dan komitmen untuk memperbaiki Jawa Barat?
Demokrasi modern sering kali menjadi panggung kontestasi pencitraan. Kandidat berlomba-lomba menghadirkan janji manis, kampanye megah, hingga slogan yang menarik perhatian. Sayangnya, substansi program sering kali tenggelam di balik hingar-bingar kampanye. Pemilih jarang diajak berdialog tentang visi jangka panjang atau rencana konkrit pembangunan daerah.
Keberhasilan pasangan Dedi-Erwan di survei mungkin juga dipengaruhi oleh dukungan besar dari koalisi partai-partai kuat, seperti Gerindra, Golkar, dan Demokrat. Dengan kekuatan logistik dan jaringan yang mumpuni, mereka mampu menjangkau basis pemilih yang luas. Namun, apakah ini berarti pasangan lain, seperti Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie, tidak layak diperhitungkan?
Di sisi lain, pasangan seperti Acep Adang Ruhiat-Gitalis Dwi Natarina dan Jeje Wiradinata-Ronal Surapradja tampak kesulitan keluar dari bayang-bayang ketidakpopuleran. Elektabilitas mereka yang berkisar di angka 4-5% menunjukkan bahwa popularitas tetap menjadi tiket utama untuk memenangkan kompetisi demokrasi.
Analisis ini mencerminkan kegagalan demokrasi kita dalam menghadirkan pemimpin berkualitas. Demokrasi sejatinya adalah proses memilih yang terbaik, bukan sekadar yang terkenal. Ketika popularitas menjadi satu-satunya ukuran, isu-isu mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, atau pendidikan sering kali tidak mendapatkan perhatian serius.
Budaya politik kita juga turut andil dalam melanggengkan pola ini. Masyarakat cenderung terpesona oleh kemeriahan kampanye dibandingkan rekam jejak kandidat. Kandidat dengan latar belakang teknokrat atau religius seperti Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie, yang menawarkan solusi berbasis teknologi dan spiritualitas, justru kurang menarik perhatian publik dibandingkan pasangan yang lebih atraktif di media.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki situasi ini? Pertama, pendidikan politik harus menjadi prioritas. Pemilih harus diajak memahami pentingnya memilih berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan sekadar pesona. Media juga memiliki peran penting untuk menggali isu substansial dan mendorong debat yang bermutu.
Kedua, regulasi kampanye perlu diperketat agar lebih fokus pada program kerja. Pembatasan kampanye yang berlebihan, seperti hura-hura atau pembagian suvenir, dapat mengurangi polarisasi yang tidak sehat.
Ketiga, partai politik harus menanamkan budaya meritokrasi dalam pencalonan kandidat. Alih-alih mengutamakan popularitas, partai harus berani memajukan figur dengan rekam jejak yang jelas dan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Jika langkah-langkah ini diterapkan, demokrasi Indonesia tidak lagi menjadi arena perebutan popularitas semata. Pilkada, termasuk Pilgub Jabar 2024, dapat menjadi momentum memilih pemimpin yang benar-benar layak. Namun, tanpa reformasi mendalam, kita hanya akan terus mengulang pola lama: memilih yang populer, bukan yang baik.