Jakarta – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia diproyeksikan menjadi yang tertinggi di ASEAN mulai 2025, menyamai Filipina sebesar 12%. Namun, kenaikan gaji minimum Indonesia jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia. Kondisi ini memicu diskusi tentang daya saing ekonomi dan kesejahteraan pekerja.
Berdasarkan data terbaru, tarif PPN di berbagai negara ASEAN adalah sebagai berikut:
Filipina dan Indonesia: 12%
Malaysia: 10% untuk barang, 8% untuk jasa
Vietnam: 10%, turun menjadi 8% hingga Juni 2025
Thailand: 7%
Myanmar: 5%
Brunei Darussalam: 0%
Sementara itu, upah minimum di Malaysia dipatok 1.500 ringgit (sekitar Rp5,3 juta), jauh di atas kisaran upah minimum Indonesia yang hanya Rp2,036 juta hingga Rp5,067 juta. Kenaikan upah minimum di Indonesia pada 2025 diproyeksikan sebesar 6,5%, sedangkan Malaysia mencapai 13,3%.
Sejumlah pihak mempertanyakan kesenjangan antara tarif pajak tinggi dan kenaikan upah yang rendah. “Peningkatan PPN ini memang untuk menggenjot pendapatan negara, tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan pekerja,” ujar Nailul Huda, ekonom Celios.
Menurut Nailul, Indonesia bisa mengoptimalkan sumber lain, seperti pajak kekayaan atau sektor tambang, untuk menambah pendapatan negara. Ia menilai, peningkatan beban pajak tanpa disertai perbaikan upah hanya akan membebani kelas pekerja.
Vietnam, Thailand, dan Filipina juga menghadapi tantangan serupa, tetapi tetap menjaga keseimbangan antara tarif pajak dan kenaikan upah. Thailand bahkan berencana menaikkan upah harian sebesar 15% menjadi 400 baht pada 2025.
Meskipun PPN 12% telah ditetapkan oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah perlu mempertimbangkan langkah kompensasi untuk menjaga daya beli masyarakat. Apalagi, survei menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan ini terus meningkat.
Peningkatan pendapatan negara melalui pajak harus berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan upaya tersebut, Indonesia dapat memperbaiki daya saing ekonomi regional.
