Perubahan nomenklatur menjadi alasan yang dianggap terlalu sederhana untuk menjelaskan ketiadaan tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen ASN di bawah Kemendikti Saintek. Meski UU ASN 2014 telah menegaskan bahwa tunjangan tersebut adalah hak, kenyataan di lapangan justru memperlihatkan sebaliknya.
Para dosen di berbagai penjuru negeri kini berada di persimpangan antara tuntutan profesionalisme dan kebutuhan hidup yang terus terjepit. Gaji pokok yang jauh dari layak, ditambah absennya tukin yang dijanjikan, memaksa mereka menjalani pekerjaan sampingan demi bertahan hidup. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: di mana posisi pendidikan dalam prioritas kebijakan pemerintah?
Pada Januari 2025, Aliansi Dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia (Adaksi) mulai menyuarakan keresahan mereka. Para dosen menuntut janji pemerintah untuk mencairkan tukin per 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nomor 447/P/2024. Namun, hingga saat ini, harapan tersebut belum terwujud dengan alasan “perubahan nomenklatur.”
Di lapangan, kondisi dosen sangat jauh dari ideal. Sebagai contoh, seorang dosen di Universitas Musamus Merauke, Papua, mengungkapkan bahwa gajinya sebesar Rp3,6 juta per bulan, ditambah tunjangan kecil, tidak cukup untuk menutupi kebutuhan dasar. Dengan biaya kos Rp1,8 juta dan kebutuhan hidup lain, dosen ini harus bekerja sampingan sebagai guru les untuk bertahan hidup.
Fenomena ini bukan hanya merugikan individu dosen, tetapi juga mahasiswa. Bagaimana dosen bisa fokus mendidik generasi muda jika mereka harus terus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Ironisnya, profesi dosen yang dianggap terhormat justru tidak dihargai secara layak. Di negara tetangga seperti Malaysia, gaji dosen dengan pendidikan S3 mencapai Rp18 juta, belum termasuk berbagai tunjangan lain. Kontras ini menunjukkan rendahnya apresiasi pemerintah terhadap tenaga pendidik di Indonesia.
Pemerintah berdalih bahwa absennya tukin dosen diakibatkan perubahan nomenklatur kementerian. Namun, alasan ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk kelalaian. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebut bahwa perubahan nomenklatur seharusnya tidak mempengaruhi hak dasar ASN, termasuk tunjangan kinerja.
Masalah ini memperlihatkan bagaimana politik anggaran di Indonesia sering kali mengabaikan sektor esensial seperti pendidikan. Ketika program lain seperti Makan Bergizi Gratis menjadi prioritas, kebutuhan mendesak seperti kesejahteraan dosen justru dikesampingkan.
Hal ini juga mencerminkan kurangnya perencanaan jangka panjang dalam kebijakan pendidikan. Padahal, jika pemerintah serius ingin mencapai target Indonesia Emas 2045, kesejahteraan dosen harus menjadi prioritas utama.
Minimnya perhatian terhadap kesejahteraan dosen berpotensi menciptakan brain drain, yaitu fenomena ketika tenaga kerja terampil meninggalkan negara asal untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri. Dalam konteks ini, lulusan terbaik dari universitas di dalam dan luar negeri enggan menjadi dosen karena gaji yang tidak sebanding dengan beban kerja.
Ketidakadilan ini juga memperburuk persepsi publik terhadap profesi dosen. Kampanye media sosial dengan tagar seperti #JanganJadiDosen menjadi cerminan kegelisahan generasi muda terhadap prospek karier di dunia akademik.
Masalah ini tidak akan selesai jika pemerintah terus menggunakan alasan teknis untuk menghindar dari tanggung jawab. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil antara lain percepatan regulasi. Pemerintah harus segera menyelesaikan rancangan Perpres tentang tukin dosen dan memastikan aturan tersebut berlaku surut, sehingga hak dosen dapat dirapel dan diberikan secara penuh.
Pemerintah juga perlu mereformasi anggaran pendidikan. Kementerian Keuangan harus mengalokasikan dana secara proporsional untuk sektor pendidikan, termasuk kesejahteraan dosen. Audit terhadap penggunaan anggaran juga harus dilakukan untuk mencegah pemborosan.
Mengadopsi model insentif berbasis kinerja dapat meningkatkan produktivitas dosen sekaligus memberikan penghargaan bagi mereka yang berprestasi. Untuk dosen di daerah terpencil, pemerintah perlu memberikan tunjangan khusus yang mencerminkan biaya hidup lokal.
Adaksi dan organisasi serupa perlu terus memperjuangkan hak dosen melalui dialog dengan pemerintah, DPR, dan publik. Tanpa tekanan kolektif dari komunitas dosen, pemerintah cenderung mengabaikan masalah ini.
Masalah tunjangan kinerja dosen adalah cermin dari kegagalan pemerintah dalam menghargai sektor pendidikan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia akan menghadapi risiko besar: kehilangan talenta terbaik, penurunan kualitas pendidikan, dan kegagalan mencapai target pembangunan sumber daya manusia yang unggul.
Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan masalah ini. Tanpa kebijakan yang adil dan berorientasi pada masa depan, pendidikan akan terus menjadi sektor yang diabaikan, dan dosen akan tetap terjebak dalam lingkaran ketidakadilan.