Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia dengan penuh semangat meluncurkan program konversi minyak tanah ke gas elpiji (LPG) 3 kg di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Kampanye besar-besaran dilakukan untuk mempercepat peralihan dari minyak tanah ke gas. Rumah-rumah tangga, tanpa memandang status ekonomi, “dipaksa” beralih dari minyak tanah ke tabung gas melon hijau yang kini menjadi ikon dapur-dapur Indonesia.
Paket perdana berupa kompor gas, regulator, dan tabung LPG 3 kg dibagikan gratis ke masyarakat. Argumennya jelas: LPG lebih efisien, hemat energi, dan mengurangi beban subsidi minyak tanah yang kala itu menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tidak ada batasan siapa yang boleh menggunakan LPG 3 kg—semua orang bisa, semua orang disarankan.
Namun, zaman berubah, kebijakan bergeser. Kini, setelah lebih dari satu dekade, justru muncul seruan yang membingungkan publik: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa “haram” hukumnya bagi orang mampu menggunakan LPG 3 kg bersubsidi. Dulu “dipaksa” pakai, sekarang malah dianggap tak pantas, bahkan sampai dikaitkan dengan hukum agama. Apa yang sebenarnya terjadi?
Awalnya, LPG 3 kg dirancang sebagai solusi energi universal. Namun, beban subsidi yang terus membengkak memaksa pemerintah mengubah pendekatan. Subsidi energi, yang menghabiskan triliunan rupiah setiap tahun, ternyata lebih banyak dinikmati oleh kalangan mampu, bukan hanya oleh masyarakat miskin yang seharusnya menjadi prioritas.
Masuk ke era pemerintahan Presiden Joko Widodo, konsep “subsidi untuk semua” dirombak menjadi “subsidi tepat sasaran.” Pemerintah memperkenalkan skema baru: pembatasan penggunaan LPG 3 kg hanya untuk rumah tangga miskin dan pelaku usaha mikro kecil. Sistem ini didukung dengan pendataan berbasis KTP untuk memastikan subsidi tidak salah sasaran.
Namun, di sinilah ironi muncul. Ketidakmerataan distribusi LPG nonsubsidi di banyak daerah, terutama di pedesaan, membuat orang-orang mampu terpaksa tetap menggunakan LPG 3 kg. Bukan karena mereka ingin menghemat subsidi, melainkan karena tabung LPG 5,5 kg atau 12 kg sulit ditemukan.
Akibatnya, mereka terjebak dalam kebijakan yang paradoks: dilarang menggunakan sesuatu yang justru menjadi satu-satunya pilihan.
Fatwa MUI yang menyebut haram bagi orang mampu menggunakan LPG 3 kg bersubsidi jelas dimaksudkan sebagai “seruan moral” untuk mendukung kebijakan pemerintah. Namun, dampaknya justru memperkeruh suasana. Alih-alih menyelesaikan masalah, fatwa ini terkesan mengalihkan tanggung jawab dari pemerintah ke individu, seolah-olah ketidakadilan distribusi energi bisa diselesaikan dengan ajakan etis semata.
Padahal, masalah utamanya bukan soal moral, melainkan soal akses. Di banyak wilayah, terutama di luar Jawa, LPG nonsubsidi sulit ditemukan. Harga tabung besar pun lebih mahal, baik karena biaya distribusi maupun minimnya agen resmi di daerah tersebut.
Bagaimana mungkin orang kaya di desa disalahkan karena menggunakan LPG 3 kg, padahal mereka tidak punya pilihan lain?
Fatwa ini juga membuka ruang diskusi soal peran lembaga keagamaan dalam urusan kebijakan publik. Jika fatwa dikeluarkan tanpa mempertimbangkan realitas sosial-ekonomi di lapangan, ia bisa menjadi alat politik yang justru menjauh dari semangat keadilan sosial yang seharusnya diusung.
Perubahan kebijakan energi di Indonesia sering kali terasa tidak konsisten. Dulu pemerintah gencar mengampanyekan LPG 3 kg untuk semua kalangan, tanpa memikirkan jangka panjang dampaknya. Kini, setelah subsidi membengkak, masyarakat diminta “bertanggung jawab” atas masalah yang seharusnya dikelola oleh negara.
Ketidakjelasan ini menjadi masalah utama. Pemerintah mengubah aturan tanpa didukung oleh infrastruktur distribusi yang memadai. Masyarakat pun menjadi korban dari kebijakan yang setengah matang: dulu dipaksa-paksa pakai, sekarang malah dianggap haram.
Di sinilah terlihat bagaimana kebijakan publik sering kali tidak memiliki peta jalan yang jelas. Setiap perubahan lebih bersifat reaktif terhadap situasi fiskal sesaat daripada dirancang sebagai solusi jangka panjang.
Akibatnya? Rakyat kecil menjadi korban dari ketidakpastian yang terus berulang.
Pemerintah harus memastikan tabung 5,5 kg dan 12 kg tersedia secara merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah pelosok. Distribusi energi tidak boleh hanya mengandalkan pasar bebas, tetapi perlu campur tangan negara untuk menjamin akses yang adil.
Setiap perubahan kebijakan harus diikuti dengan sosialisasi yang jelas dan konsisten. Pemerintah tidak bisa terus-menerus mengubah aturan tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mendorong penggunaan energi alternatif seperti kompor listrik atau biogas, terutama di wilayah yang memiliki potensi energi terbarukan.
MUI sebaiknya berhati-hati mengeluarkan fatwa terkait kebijakan publik. Fatwa harus mempertimbangkan konteks sosial-ekonomi, bukan hanya berdasarkan norma etika yang terlepas dari realitas lapangan.
Energi adalah hak dasar setiap warga negara. Subsidi harus tepat sasaran, tetapi akses yang adil juga harus dijamin. Pemerintah tidak bisa sekadar mengatur tanpa menyediakan solusi.
Sementara itu, masyarakat membutuhkan kepastian, bukan kebijakan yang berubah-ubah tanpa arah yang jelas.
Dulu dipaksa-paksa menggunakan LPG 3 kg, sekarang malah haram. Inilah gambaran nyata bagaimana kebijakan publik di Indonesia sering kali berjalan tanpa peta yang jelas.
Yang dirugikan? Tentu saja rakyat kecil.
