Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa daya beli masyarakat terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur, terutama menjelang Ramadan dan Lebaran 2025. Namun, optimisme ini berbanding terbalik dengan kondisi ribuan pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/3/2025), Airlangga menjelaskan bahwa inflasi nasional masih terkendali meskipun inflasi inti mengalami kenaikan. Pada Februari 2025, Indonesia mencatat deflasi 0,48 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 0,09 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
“Namun, inflasi inti tetap menunjukkan kenaikan, dengan angka 0,25 persen (mtm) atau 2,48 persen (yoy), sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya,” ujar Airlangga.
Ia juga menyebut beberapa komoditas pangan mengalami deflasi, seperti daging ayam ras, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam ras. Selain itu, deflasi pada harga yang diatur pemerintah disebabkan oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan daya 450 VA hingga 2200 VA pada Januari dan Februari 2025.
Pemerintah, kata Airlangga, terus menjaga daya beli masyarakat melalui kebijakan strategis, termasuk percepatan penyaluran bantuan sosial, pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi ASN dan pekerja swasta, serta berbagai program stimulus Ramadan dan Lebaran 2025.
Meski begitu, kondisi di lapangan menunjukkan realitas berbeda. Pada akhir Februari 2025, sebanyak 12 ribu karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) kehilangan pekerjaan akibat kesulitan finansial perusahaan. Gelombang PHK ini menambah panjang daftar pekerja manufaktur yang terdampak, setelah sebelumnya ribuan buruh PT Yamaha Music Indonesia dan PT Sanken Indonesia mengalami nasib serupa akibat relokasi perusahaan ke China dan Jepang.
Meskipun Menko Airlangga menyoroti pertumbuhan industri manufaktur di ASEAN, dengan perbaikan di negara seperti Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, Indonesia tetap menghadapi tantangan besar dalam sektor ketenagakerjaan.
Para ekonom menilai bahwa pemulihan ekonomi yang diharapkan pemerintah belum sepenuhnya dirasakan oleh para pekerja, terutama di sektor industri yang mengalami tekanan berat akibat persaingan global dan efisiensi biaya produksi.
