Pajak tinggi seharusnya tidak menjadi masalah, selama dikelola secara adil dan transparan. Namun di Indonesia, pajak seringkali hadir bersamaan dengan pungutan liar, menciptakan beban ganda yang merugikan rakyat kecil.
Rakyat diminta taat membayar pajak, tetapi dalam kenyataannya, mereka juga harus menghadapi birokrasi yang penuh praktik pungli. Di ruang pelayanan publik, perizinan, hingga proyek infrastruktur, pungutan tak resmi masih menjadi hal yang lumrah.
Laporan Bank Dunia pada Maret 2025 kembali menampar realitas fiskal kita. Indonesia disebut kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp546 triliun setiap tahun dalam periode 2016–2021, akibat rendahnya efisiensi dan kepatuhan.
Angka itu terdiri dari kebocoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp386 triliun, serta Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sebesar Rp160 triliun. Bukan jumlah yang kecil—setara dengan hampir sepertiga APBN untuk sektor pendidikan.
Masalah ini bukan soal kekurangan sumber daya, tetapi lemahnya pengawasan dan budaya fiskal yang tidak sehat. Korporasi besar dengan mudah menghindari pajak, sementara sektor informal dan kelas menengah justru menjadi sasaran utama.
Penghindaran pajak terjadi melalui manipulasi laporan keuangan, transfer pricing, dan penggunaan perusahaan cangkang di luar negeri. Praktik semacam ini sulit disentuh karena lemahnya regulasi dan pengawasan yang kerap bisa dinegosiasikan.
Di sisi lain, pemerintah justru semakin agresif menaikkan tarif dan memperluas basis pajak. Tarif PPN naik menjadi 12 persen, wacana pajak karbon digulirkan, serta ekonomi digital mulai dijadikan target penerimaan baru.
Namun ekspansi ini tak dibarengi dengan pembersihan sistem perpajakan. Tanpa reformasi struktural, kebijakan hanya akan membebani yang lemah dan melanggengkan ketimpangan fiskal.
Kondisi ini menciptakan krisis legitimasi. Rakyat membayar, tapi tidak melihat hasilnya dalam bentuk pelayanan publik yang memadai.
Sebagian masyarakat bahkan mulai menganggap penghindaran pajak sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak adil. Ini berbahaya, karena bisa merusak fondasi kepercayaan terhadap negara.
Keadilan fiskal tak hanya soal angka, tapi soal rasa keadilan yang dirasakan warga. Ketika mereka melihat korupsi dan pungli merajalela, rasa percaya akan runtuh meski pajak dibayar dengan taat.
Di lapangan, pungli tetap hidup karena dibiarkan. Penegakan hukum lemah, pengawasan internal tak serius, dan sanksi yang ada lebih sering menjadi tontonan ketimbang tindakan tegas.
Padahal pungli adalah penggerogot sistemik terhadap keadilan ekonomi. Setiap rupiah yang diambil tanpa hak, mengikis moral aparat dan menjauhkan warga dari rasa memiliki terhadap negara.
Pemerintah tak bisa hanya mengandalkan kampanye kesadaran pajak. Keteladanan dan integritas lembaga jauh lebih menentukan dalam membangun kepatuhan yang sukarela.
Langkah pertama yang harus diambil adalah membenahi institusi perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak harus direformasi dari dalam, bukan sekadar lewat digitalisasi, tapi juga etika dan budaya kerjanya.
Publik perlu tahu ke mana pajak mereka dibelanjakan. Transparansi anggaran, audit terbuka, dan laporan berkala wajib disampaikan secara sederhana dan mudah dipahami masyarakat.
Langkah kedua, pemberantasan pungli harus dilakukan secara nyata dan sistematis. Tidak cukup hanya dengan OTT atau pemberhentian sementara—perlu ada perubahan sistem yang menutup celah negosiasi liar.
Langkah ketiga, pemerintah perlu fokus melindungi dan memberdayakan sektor ekonomi rakyat. UMKM harus diberikan insentif, bukan sekadar dibebani kewajiban fiskal tanpa perlindungan.
Pajak bukan sekadar alat memungut, tapi juga distribusi keadilan. Negara tidak bisa terus menarik dari bawah, sementara membiarkan yang di atas bermain tanpa batas.
Jika negara ingin rakyat patuh, maka negara harus terlebih dulu menunjukkan integritasnya. Bukan hanya di atas mimbar, tapi dalam praktik sehari-hari pelayanan publik.
Kita tak hanya butuh reformasi pajak, tapi juga revolusi kepercayaan. Karena tanpa kepercayaan, pajak hanya akan menjadi kewajiban yang dipenuhi dengan keterpaksaan, bukan dengan kesadaran.
Negara yang memungut terlalu besar, tapi membiarkan pungli berkembang, sedang menggali kuburnya sendiri. Maka saat ini, perubahan bukan lagi pilihan—melainkan keharusan.
