Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan penghapusan kuota impor, terutama untuk komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini bertujuan menyederhanakan rantai distribusi dan mencegah praktik monopoli.
Namun, langkah ini memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap industri dalam negeri, khususnya petani dan pelaku UMKM.
Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, menegaskan bahwa penghapusan kuota impor tidak berarti membuka keran impor secara bebas.
“Bukan berarti kemudian impor besar-besaran, semua diimpor, bukan! Tetap harus melindungi produksi dalam negeri,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, mengingatkan bahwa penghapusan kuota impor tanpa sistem pengendalian yang kuat sangat berisiko.
“Jangan sampai niat membuka akses pasar justru menjadi jalan bagi produk asing membanjiri pasar domestik, mematikan produksi rakyat,” katanya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mendukung penghapusan kuota impor karena dinilai tidak efisien dan hanya memperumit perdagangan. Ia menyarankan penggantian kuota dengan tarif impor yang lebih adil dan terbuka.
Namun, pengamat ekonomi dari INDEF, Andry Satrio Nugroho, memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa berujung pada banjir barang impor di tengah industri domestik yang belum pulih.
“Kalau sekarang kita malah lepas rem, gelombang barang murah ini bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” ungkapnya.
Kebijakan penghapusan kuota impor ini menjadi langkah reformasi signifikan dalam sistem perdagangan Indonesia. Namun, keberhasilannya akan bergantung pada implementasi yang hati-hati dan pengawasan yang ketat, serta kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan konsumen dan produsen dalam negeri.
