Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap latar belakang terbitnya izin tambang nikel PT GAG Nikel yang beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Izin tersebut, menurut Bahlil, merupakan hasil dari kontrak karya generasi VII yang telah dikeluarkan pada tahun 1998, jauh sebelum ia aktif di pemerintahan.
PT GAG Nikel didirikan pada 19 Januari 1998 dengan struktur awal saham terdiri dari Asia Pacific Nickel Pty. Ltd sebesar 75% dan PT ANTAM Tbk sebesar 25%. Namun sejak 2008, PT ANTAM mengakuisisi seluruh saham Asia Pacific Nickel, menjadikan perusahaan tersebut sepenuhnya dimiliki oleh negara melalui BUMN tambang tersebut.
“Dulu, saat izin ini keluar, saya masih aktif di HIPMI dan belum masuk ke kabinet. Jadi, isu bahwa ini adalah izin era saya tidak benar,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (7/6/2025).
Seiring dengan mencuatnya polemik dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan di Raja Ampat, Bahlil menyatakan Kementerian ESDM telah memutuskan untuk menghentikan sementara seluruh operasi tambang PT GAG Nikel. Keputusan ini dilakukan guna memberikan waktu bagi tim kementerian untuk melakukan verifikasi lapangan.
“Sampai hasil verifikasi keluar, kegiatan produksinya kita setop. Ini langkah untuk memastikan dampak ekologis benar-benar ditangani secara objektif,” ujarnya.
Langkah ini diambil menyusul berbagai tekanan dari masyarakat, aktivis lingkungan, dan tokoh daerah yang menilai keberadaan tambang nikel bertentangan dengan status Raja Ampat sebagai kawasan wisata prioritas nasional dan geopark dunia.
Sebelumnya, Bahlil juga menyampaikan bahwa lokasi tambang PT GAG Nikel berjarak sekitar 40 kilometer dari kawasan wisata utama Raja Ampat. Meski demikian, ia tidak menampik bahwa setiap aktivitas industri di kawasan sensitif seperti ini tetap harus diawasi ketat untuk mencegah kerusakan ekosistem.
Kementerian ESDM akan mengirim tim investigasi ke lokasi tambang untuk menilai kembali kelayakan izin usaha pertambangan tersebut. Hasil peninjauan akan menjadi dasar untuk menentukan apakah operasi bisa dilanjutkan atau dihentikan secara permanen.
“Kita tidak ingin ambil risiko. Keputusan final akan kita ambil setelah melihat kondisi faktual di lapangan,” kata Bahlil menegaskan.