Konflik Israel–Iran kini memasuki fase tanpa bayangan: perang terbuka.
Serangan udara, rudal balistik, hingga operasi siber bukan lagi alat proksi, melainkan senjata utama. Kawasan ini berubah drastis, menandai perubahan arah geopolitik yang memerlukan perhatian global yang realistis dan tegas.
Dalam waktu kurang dari tiga hari, serangan balasan Iran terhadap Israel mengakibatkan lebih dari 1.000 korban jiwa dan luka. Sebaliknya, Iran juga mengalami kerugian besar. Sedikitnya 450 warga Iran dilaporkan tewas akibat serangan mendadak Israel, dan ribuan lainnya terluka.
Namun, yang paling mengguncang bukan sekadar angka korban, melainkan efektivitas serangan Iran yang berhasil menembus sistem pertahanan Israel. Fasilitas strategis seperti reaktor nuklir Dimona, pelabuhan Haifa, depot minyak, dan pusat teknologi militer yang sebelumnya dianggap kebal kini mengalami kerusakan parah.
Tel Aviv lumpuh total. Sirene peringatan tak berhenti berbunyi, sementara warga sipil bertahan di bunker dalam ketidakpastian. Ini menjadi salah satu titik kehancuran terparah yang dialami Israel sejak negara itu berdiri.
Iran, di sisi lain, menunjukkan ketahanan luar biasa. Meski sejumlah jenderal senior tewas, struktur komando militer Iran tetap utuh. Selama lebih dari empat dekade, Iran membangun sistem pertahanan di bawah embargo dan tekanan. Kini, hasilnya terbukti di medan nyata.
Perang ini melampaui sekat-sekat sektarian Sunni–Syiah. Ia juga tidak bisa lagi direduksi sebagai kelanjutan konflik Palestina–Israel. Ini adalah perang perimbangan kekuatan yang menentukan arah masa depan Timur Tengah.
Israel berambisi menjadi kekuatan hegemonik tunggal di kawasan. Iran adalah satu-satunya batu penghalang yang konsisten menolak tunduk. Ketika diplomasi gagal, Israel memilih kekerasan. Kini, kekerasan itu justru berbalik menghantam.
Yang lebih mengejutkan adalah sikap negara-negara Arab. Laporan intelijen menyebut bahwa Arab Saudi, Qatar, dan Yordania terlibat dalam upaya membantu Israel mencegat rudal Iran. Mereka memberikan informasi koordinat dan dukungan radar.
Tindakan ini merupakan pengkhianatan terhadap prinsip solidaritas Islam dan rakyat Palestina. Ketika negara-negara yang secara historis dan moral berkewajiban membela Palestina justru membantu musuh bersama, itu bukan hanya kegagalan politik, tapi juga kegagalan moral.
Amerika Serikat menunjukkan keraguan strategis. Meski mendapat desakan dari Israel, termasuk permintaan untuk membunuh Ayatollah Khamenei, Presiden Trump menolak keterlibatan langsung. AS menyadari, eskalasi lebih lanjut berpotensi memicu perang global yang akan menyeret Rusia, China, dan bahkan Pakistan.
Kawasan Teluk kini menjadi titik api global. Pangkalan militer AS di Irak, Bahrain, Qatar, dan Suriah menjadi sasaran empuk bagi jaringan proksi Iran. Ini bukan lagi tentang siapa yang menyerang lebih dulu, tapi siapa yang mampu bertahan lebih lama.
Dampaknya sangat luas. Harga minyak melonjak, rantai pasok energi terganggu, dan ketidakpastian menyelimuti pasar global. Negara-negara seperti Indonesia, India, dan Jerman akan turut menanggung konsekuensi ekonomi dalam bentuk inflasi dan gejolak harga.
Jika dibiarkan, konflik ini akan menjalar ke Asia Tengah dan Afrika Utara, mempercepat radikalisasi, memicu ketidakstabilan, dan menyuburkan kekacauan yang bisa berlangsung dalam jangka panjang.
Yang lebih berbahaya adalah perang narasi. Jika dunia hanya terpaku pada media arus utama yang berpihak, maka opini publik akan terbentuk secara timpang. Ini akan memperpanjang konflik dan mengaburkan kebenaran.
Dunia membutuhkan langkah konkret dan segera. Pertama, gencatan senjata harus dilakukan sekarang juga. Negara-negara seperti Turki, Indonesia, atau Swiss dapat memediasi perundingan dan pengamat internasional harus mengawal pelaksanaannya secara ketat.
Kedua, perlu dibentuk tim investigasi independen di bawah mandat PBB untuk mengumpulkan data korban sipil, kerusakan infrastruktur, dan memastikan informasi tidak dikendalikan oleh propaganda kedua pihak. Transparansi adalah langkah awal menuju akuntabilitas.
Ketiga, fokus harus bergeser ke perlindungan warga sipil. Semua pihak harus tunduk pada hukum humaniter internasional. Warga Teheran dan Tel Aviv yang tak bersenjata berhak atas keselamatan dan bantuan tanpa syarat.
Keempat, akses bantuan kemanusiaan harus dibuka tanpa hambatan politik. Lembaga seperti ICRC, UNHCR, dan Bulan Sabit Merah harus diberi jalur masuk aman untuk menyalurkan bantuan pangan, air bersih, dan layanan medis.
Kelima, dunia Arab harus mengambil posisi aktif. Tidak cukup menjadi pengamat. Mereka harus menyuarakan tekanan kepada Israel dan Iran agar segera menghentikan konflik dan kembali ke jalur diplomasi.
Keenam, dibutuhkan perjanjian nuklir yang baru dan adil. Tidak hanya Iran yang harus diaudit. Israel, sebagai satu-satunya kekuatan nuklir tak terdeklarasi di kawasan, juga harus tunduk pada verifikasi IAEA.
Selama standar ganda masih diberlakukan dalam isu senjata pemusnah massal, maka perdamaian sejati hanya akan jadi ilusi.
Konflik Israel–Iran bukan sekadar pergeseran militer. Ia menguji solidaritas regional, integritas diplomasi global, dan moralitas komunitas internasional.
Jika dunia memilih diam, maka reruntuhan Timur Tengah akan menjadi prasasti kegagalan kolektif kita. Saatnya dunia bertindak, sebelum kehancuran menjadi permanen.