Ini bukan sekadar narasi lama. Fakta sejarah tentang berdirinya Israel kerap disamarkan di balik retorika “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”. Padahal, realitasnya sangat berbeda. Palestina bukan tanah kosong. Palestina adalah rumah bagi jutaan orang yang memiliki identitas, sejarah, dan kebudayaan yang berurat akar.
Sejak awal abad ke-20, gerakan Zionisme mendorong migrasi besar-besaran Yahudi Eropa ke wilayah Palestina yang saat itu masih berada di bawah Mandat Inggris. Proses ini awalnya berjalan lewat pembelian tanah. Namun, seiring meningkatnya ketegangan, metode yang digunakan semakin agresif. Pembelian lahan secara terbatas segera bertransformasi menjadi proyek perebutan wilayah yang terencana dan sistematis.
Hingga 1947, kepemilikan tanah oleh Yahudi hanya mencakup sekitar 6 persen dari total wilayah Palestina. Sisanya adalah tanah milik penduduk Arab Palestina, yang telah tinggal turun-temurun selama ratusan tahun. Ketika PBB mengeluarkan resolusi pembagian wilayah pada 1947, masyarakat Arab Palestina menolak pembagian tersebut karena merasa hak mereka diabaikan dan tanah mereka diserahkan begitu saja.
Saat itu, milisi Zionis mulai menerapkan rencana militer bernama Plan Dalet (Plan D), yang disusun dengan tujuan merebut sebanyak mungkin wilayah yang dialokasikan untuk negara Yahudi dan bahkan wilayah di luar yang ditetapkan PBB. Operasi militer ini tidak hanya menargetkan milisi atau pasukan Arab, tetapi juga desa-desa penduduk sipil Palestina. Desa dihancurkan, warga diusir, rumah dibakar. Inilah cikal bakal bencana yang kemudian dikenal sebagai Nakba — “malapetaka” bagi rakyat Palestina.
Sebanyak 750.000 warga Palestina diusir atau melarikan diri karena kekerasan dan ancaman pembantaian. Lebih dari 500 desa Palestina rata dengan tanah, dan banyak yang dihapus dari peta secara resmi oleh otoritas baru Israel. Bangunan bersejarah, masjid, gereja, dan kebun-kebun zaitun — simbol identitas dan keberlangsungan hidup mereka — dihancurkan.
Di berbagai kota seperti Haifa, Jaffa, Lydda, dan Ramla, ribuan warga Palestina dipaksa berjalan kaki ke wilayah yang kini menjadi Tepi Barat dan Gaza. Banyak yang meninggal dalam perjalanan panjang tanpa makanan dan air. Setelah itu, undang-undang kepemilikan tanah Israel diberlakukan untuk mengambil alih tanah yang ditinggalkan. Tanah-tanah ini kemudian diberikan kepada pemukim Yahudi baru.
Pengusiran ini bukan sekadar “dampak perang” atau “konsekuensi konflik”, seperti sering digambarkan dalam narasi mainstream. Ini adalah kebijakan yang disengaja, terstruktur, dan dilaksanakan dengan tujuan akhir: menciptakan negara Yahudi homogen dengan sebanyak mungkin wilayah dan seminimal mungkin penduduk Arab.
Setelah 1948, proses perampasan tanah tidak berhenti. Penaklukan wilayah baru pada 1967, termasuk Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza, membuka babak baru pendudukan. Rakyat Palestina semakin terdesak ke kantong-kantong sempit, sementara permukiman Yahudi ilegal terus berkembang. Pemerintah Israel kemudian mengeluarkan kebijakan yang semakin membatasi akses penduduk Palestina terhadap tanah, air, dan sumber daya alam lain.
Dari sudut pandang politik, pendirian Israel menjadi simbol kekuatan diplomasi internasional yang bias. Resolusi-resolusi PBB yang mengutuk pendudukan dan pembangunan permukiman kerap diabaikan. Dukungan politik dan militer dari negara-negara besar membuat Israel bisa melanjutkan kebijakan ekspansifnya dengan rasa impunitas.
Secara hukum internasional, tindakan pengambilalihan tanah, pembangunan permukiman, dan pengusiran paksa adalah pelanggaran serius. Konvensi Jenewa dengan jelas melarang pemindahan paksa penduduk asli dari wilayah yang diduduki. Namun, hukum ini sering hanya menjadi dokumen simbolis tanpa eksekusi nyata.
Di sisi sosial dan budaya, perampasan tanah membawa dampak yang tak terhitung. Rakyat Palestina kehilangan mata pencaharian yang bergantung pada tanah, terutama petani zaitun dan gandum. Kehilangan tanah berarti hilangnya akar identitas. Generasi demi generasi kini tumbuh di kamp pengungsian, memelihara ingatan akan desa-desa yang sudah hilang dari peta.
Lebih tragis lagi, narasi internasional yang sering mendiskreditkan perjuangan Palestina memperparah luka kolektif ini. Ketika perlawanan Palestina disebut “terorisme” tanpa melihat sebab utama, dunia seolah lupa siapa yang pertama kali merampas rumah dan tanah.
Dari aspek ekonomi, perampasan tanah juga menjadi fondasi lahirnya ketimpangan ekstrem di wilayah tersebut. Pemukim Israel mendapatkan akses ke lahan subur, air, dan infrastruktur modern. Sebaliknya, rakyat Palestina di Tepi Barat dan Gaza menghadapi pembatasan pergerakan, blokade ekonomi, serta kerusakan lingkungan akibat ekspansi permukiman.
Apabila ingin melihat ke depan, dunia internasional harus berhenti pura-pura buta. Israel dibangun di atas tanah yang diambil paksa dari rakyat Palestina. Pengakuan atas kenyataan ini menjadi langkah pertama yang mutlak diperlukan sebelum berbicara tentang perdamaian.
Perdamaian sejati tidak mungkin lahir dari ketidakadilan yang dibiarkan terus berakar. Keamanan yang dibangun di atas penindasan hanya akan menghasilkan ketegangan abadi. Dunia harus mendorong penegakan hak kembali bagi pengungsi Palestina, penghentian pembangunan permukiman ilegal, serta restitusi tanah dan properti yang dirampas.
Masyarakat internasional juga perlu mendukung upaya hukum di tingkat global untuk menuntut pertanggungjawaban. Pengadilan internasional bukan sekadar simbol moral, tetapi sarana untuk menuntut keadilan bagi jutaan korban pengusiran dan perampasan.
Kesadaran sejarah dan solidaritas lintas bangsa adalah senjata moral utama. Generasi muda di berbagai belahan dunia semakin menyadari narasi yang sebenarnya, meski masih dihadang propaganda media besar. Media, akademisi, dan pegiat sosial harus berani mengangkat kebenaran tanpa takut stigma politik.
Palestina adalah tragedi kemanusiaan yang masih berlangsung, bukan sekadar peristiwa masa lalu. Selama tanah tetap dirampas, selama rakyat terus diusir, dan selama keadilan tak ditegakkan, luka itu tak akan pernah sembuh.
Pendirian Israel bukan hanya kisah tentang “tanah yang dijanjikan” atau sekadar keberhasilan diplomasi internasional. Ia adalah kisah tentang perampasan, pengusiran, dan penghancuran identitas. Sejarah harus diakui apa adanya. Tanpa kejujuran, tidak akan pernah ada jalan menuju keadilan dan perdamaian bagi Palestina.