Ancaman pemberhentian kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali menyalakan alarm bahaya bagi demokrasi lokal di Indonesia. Dalam pernyataannya pekan ini, Tito menegaskan bahwa kepala daerah yang tidak mendukung program strategis nasional, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), dapat diberhentikan oleh Presiden.
Pernyataan itu langsung menuai kritik luas dari pakar hukum dan masyarakat sipil. Banyak yang menilai langkah tersebut menabrak prinsip dasar otonomi daerah dan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Dalam sistem demokrasi, kepala daerah bukan bawahan menteri. Mereka pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Ancaman pemberhentian dari pemerintah pusat karena tidak mendukung program strategis nasional adalah bentuk reduksi makna kedaulatan rakyat menjadi formalitas.
Lebih parah, jika kebijakan itu dijalankan, Indonesia bisa kembali ke pola pemerintahan sentralistik yang mengebiri desentralisasi, padahal itu adalah fondasi utama reformasi 1998.
Fakta yang disampaikan Tito memang merujuk pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun pasal itu hanya memberi kewenangan administratif berupa teguran tertulis terhadap kepala daerah yang dianggap tidak melaksanakan program strategis nasional.
Bahkan, pemberhentian kepala daerah tetap harus melalui mekanisme hukum dan politik yang ketat, termasuk keterlibatan DPRD dan Mahkamah Agung. Maka, pernyataan Tito yang menegaskan bahwa tidak perlu menunggu DPRD menimbulkan tafsir otoriter atas kewenangan eksekutif pusat.
Secara hukum, ancaman ini jelas problematik. Kepala daerah dapat diberhentikan hanya dalam kondisi tertentu, seperti meninggal dunia, mengundurkan diri, habis masa jabatan, atau tidak mampu menjalankan tugas enam bulan berturut-turut.
Tidak ada dasar hukum eksplisit yang membenarkan pemberhentian karena tidak mendukung program strategis nasional. Jika ancaman Tito direalisasikan, itu bukan pelaksanaan undang-undang, melainkan pembelokan terhadapnya.
Secara politik, pernyataan ini memperlihatkan wajah pemerintahan yang makin menutup ruang perbedaan. Dalam demokrasi, kritik dari daerah terhadap kebijakan pusat adalah mekanisme check and balance yang sehat.
Namun kini, kritik justru dianggap pembangkangan. Gubernur Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, misalnya, hanya mengingatkan soal aspek higienitas dapur dalam program MBG. Tapi suaranya bisa saja ditafsirkan sebagai tidak mendukung program nasional.
Logika semacam ini mengarah pada politik keseragaman yang menindas nalar kritis kepala daerah.
Fenomena ini bukan sekadar perdebatan administratif, tapi cerminan krisis demokrasi yang lebih dalam. Sejak awal pemerintahan Prabowo Subianto, kecenderungan militeristik dalam pola komunikasi dan pengambilan keputusan makin tampak.
Bahasa ancaman, perintah tunggal, dan loyalitas absolut mulai menggantikan prinsip partisipasi dan deliberasi. Apa yang dulu menjadi kekuatan otonomi daerah, yaitu kemampuan menyesuaikan kebijakan pusat dengan konteks lokal, kini dipaksa tunduk pada satu komando.
Dampaknya nyata. Ketika kepala daerah tak lagi punya ruang untuk menolak kebijakan yang merugikan rakyatnya, fungsi perlindungan terhadap warga akan lumpuh.
Contohnya terlihat dalam program lumbung pangan di Papua Selatan yang menimbulkan konflik lahan dan merusak ruang hidup masyarakat adat. Wakil Gubernur Papua Selatan, Paskalis Imadawa, menolak program itu karena menggusur hutan dan menyingkirkan masyarakat Malind Anim.
Namun dengan ancaman seperti disampaikan Tito, keberanian menolak kebijakan serupa bisa lenyap.
Ironinya, istilah program strategis nasional kini digunakan sebagai tameng moral, seolah semua kebijakan pusat otomatis benar dan wajib didukung. Padahal banyak program itu bermasalah.
Ribuan kasus keracunan dalam MBG, kebocoran anggaran pada Koperasi Merah Putih, hingga kerusakan lingkungan akibat smelter dan food estate. Apakah kritik terhadap hal-hal ini bisa disebut tidak mendukung program nasional?
Jika iya, maka negara sedang menghapus perbedaan antara loyalitas dan kepatuhan buta.
Secara sosial, kebijakan top-down seperti ini menciptakan ketimpangan baru antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat punya sumber daya besar, sedangkan daerah dipaksa menjalankan kebijakan tanpa dana memadai.
Banyak kepala daerah kini terjebak dalam dilema. Di satu sisi harus melayani rakyat, di sisi lain takut dicopot jika bersuara kritis. Kondisi ini memperkuat politik transaksional seperti yang disinggung ICW.
Kepala daerah bisa memilih diam atau berkompromi demi keamanan jabatan, bukan demi rakyat.
Dalam konteks ekonomi-politik, hubungan semacam ini memperbesar risiko korupsi kebijakan. Ketika pelaksanaan program pusat jadi alat kekuasaan, bukan kebutuhan publik, maka anggaran bisa diarahkan untuk kepentingan politik tertentu.
Para pengusaha, kontraktor, atau pejabat yang dekat dengan elit pusat akan diuntungkan. Sementara daerah yang kritis akan terpinggirkan. Sentralisasi kekuasaan seperti ini mengingatkan kita pada masa Orde Baru, dan kini tanda-tandanya muncul lagi.
Secara budaya politik, ancaman Tito juga mengikis etos kepemimpinan lokal. Kepala daerah bukan lagi simbol aspirasi masyarakat, melainkan operator kebijakan pusat.
Padahal, esensi otonomi daerah adalah memberi ruang inovasi lokal. Banyak keberhasilan daerah, seperti reformasi birokrasi Surabaya atau program partisipatif Banyuwangi, lahir karena kepala daerah berani berbeda.
Jika semua dipaksa satu suara, kita sedang membunuh kreativitas pemerintahan daerah yang menjadi fondasi kemajuan.
Sebagai bangsa, kita perlu waspada terhadap bahasa politik yang mengklaim kepentingan nasional tanpa akuntabilitas. Sejarah menunjukkan, banyak kebijakan mengatasnamakan nasionalisme justru menindas rakyat daerah.
Nasionalisme sejati bukan ketaatan buta pada pusat, melainkan keberanian membela rakyat dari kebijakan yang merugikan mereka, siapa pun penguasanya.
Pemerintah pusat tentu berhak mengarahkan pembangunan nasional. Tapi hak itu tak boleh menghapus hak daerah untuk bersuara.
Justru dengan ruang dialog dan otonomi, pelaksanaan program nasional bisa lebih efektif. Kepala daerah yang kritis bukan ancaman, tapi mitra untuk memperbaiki kebijakan agar lebih berpihak pada rakyat.
Menteri Dalam Negeri harus berhenti memakai bahasa ancaman. Demokrasi tidak tumbuh di bawah tekanan, melainkan di ruang partisipasi.
Kepala daerah yang dipilih rakyat tidak boleh diperlakukan sebagai bawahan. Jika pemerintah pusat terus menempatkan mereka sebagai event organizer kebijakan nasional, maka cita-cita desentralisasi akan menjadi slogan kosong.
Sebagai media, kami menilai ancaman pemberhentian kepala daerah karena tidak mendukung program strategis nasional adalah kemunduran demokrasi.
Pemerintah pusat harus menegakkan supremasi hukum, bukan supremasi kehendak. Demokrasi daerah adalah benteng terakhir rakyat untuk memastikan kebijakan publik berpihak pada kepentingan mereka.
Jika benteng itu dihancurkan, suara rakyat akan hilang di tengah hiruk-pikuk jargon pembangunan nasional.

 
		
 
									 
					
