Wacana efisiensi politik kembali digunakan untuk menggiring opini publik terhadap perubahan sistem pilkada. Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan alasan menghemat anggaran negara. Namun, di balik janji efisiensi tersebut, ada ancaman nyata terhadap kedaulatan rakyat dan prinsip dasar demokrasi yang telah dibangun selama hampir dua dekade.
Presiden Prabowo menyebut bahwa sistem di negara-negara seperti Malaysia dan Singapura lebih efisien karena kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat. Ia mengklaim, anggaran yang dihemat dari pilkada langsung dapat dialihkan untuk memperbaiki infrastruktur, pendidikan, dan kebutuhan mendesak lainnya. Namun, apakah efisiensi ini benar-benar sepadan dengan dampak buruknya terhadap demokrasi dan akuntabilitas pemerintah?
Sejarah menunjukkan bahwa pilkada langsung memberi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin secara transparan dan bertanggung jawab. Dengan menyerahkan pemilihan kepada DPRD, kontrol rakyat atas proses demokrasi berpotensi terkikis. Kepala daerah yang dipilih oleh DPRD cenderung lebih bertanggung jawab kepada para anggota dewan ketimbang kepada masyarakat luas.
Pilkada langsung memang memerlukan biaya besar, tetapi biaya tersebut adalah investasi bagi demokrasi. Pengalihan pilkada ke DPRD tidak menjamin pengurangan biaya secara signifikan. Sebaliknya, negosiasi politik, lobi-lobi antarpartai, dan potensi politik uang di balik layar justru berisiko menambah biaya politik yang lebih sulit dipantau.
Peneliti dari Perludem menegaskan bahwa akar masalah biaya tinggi dalam pilkada langsung terletak pada lemahnya penegakan hukum terhadap praktik politik transaksional, bukan pada sistem pemilunya. Jika pemerintah serius ingin menekan biaya politik, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki regulasi kampanye, menindak pelanggaran, dan mendorong transparansi dalam proses pencalonan.
Pilkada langsung adalah salah satu mekanisme demokrasi yang menjamin keterlibatan rakyat dalam menentukan pemimpin lokal mereka. Mekanisme ini memberikan legitimasi kuat kepada kepala daerah dan memperkuat akuntabilitas mereka kepada rakyat.
Dengan mengembalikan pemilihan kepada DPRD, pemerintah berisiko mengurangi hak rakyat untuk terlibat langsung dalam proses demokrasi. Kepala daerah yang dipilih tanpa mandat langsung dari rakyat dapat kehilangan legitimasi dan cenderung fokus pada kepentingan elite politik.
Wacana ini juga berisiko memunculkan kolusi antara eksekutif dan legislatif lokal, yang melemahkan prinsip check and balances. Demokrasi prosedural semacam ini dikhawatirkan akan menguatkan oligarki dan merugikan masyarakat.
Alih-alih mengubah sistem, pemerintah harus fokus pada reformasi teknis yang meningkatkan efisiensi pilkada langsung. Salah satu solusinya adalah penggabungan pemilu nasional dan daerah untuk mengurangi frekuensi pemilu, sekaligus menghemat biaya. Digitalisasi pemilu juga bisa menjadi alternatif yang relevan untuk menekan anggaran jangka panjang.
Pemerintah juga harus memperkuat kapasitas partai politik dalam membangun basis dukungan di tingkat akar rumput, sehingga tidak bergantung pada praktik politik uang. Upaya ini lebih menjanjikan dalam meningkatkan kualitas demokrasi tanpa mengorbankan hak rakyat.
Wacana ini tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga mencerminkan upaya untuk melanggengkan kontrol politik oleh segelintir elite. Dalam demokrasi yang sehat, rakyat adalah pusat dari setiap proses politik. Mengalihkan kekuasaan memilih dari rakyat kepada DPRD adalah langkah mundur yang dapat mengerdilkan demokrasi lokal.
Investasi dalam demokrasi, termasuk biaya pilkada langsung, adalah harga yang pantas untuk memastikan hak rakyat tetap terjaga. Efisiensi tidak boleh dijadikan alasan untuk melemahkan demokrasi. Pilkada langsung harus dipertahankan demi kedaulatan rakyat dan masa depan demokrasi Indonesia.