Jakarta – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan keberatan terhadap kebijakan sertifikasi halal Indonesia. Dalam laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, AS menilai regulasi halal RI menghambat perdagangan dan menambah beban eksportir asing.
AS secara khusus mempersoalkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) beserta seluruh regulasi turunannya.
Termasuk di dalamnya Keputusan Menteri Agama dan peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
“Pemangku kepentingan AS khawatir Indonesia menyelesaikan banyak peraturan ini tanpa pemberitahuan ke WTO dan tanpa masukan dari pihak internasional,” tulis laporan USTR.
Washington menyebut skema sertifikasi halal Indonesia tidak sesuai dengan prinsip Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (TBT Agreement).
Terutama karena proses penyusunan kebijakan dianggap tertutup dan sering berubah-ubah tanpa transparansi publik.
Dokumen itu juga menyoroti Keputusan Menag No. 816/2024 yang menetapkan kewajiban halal berdasarkan kode HS sebagai “dokumen hidup”. Artinya, ketentuan bisa berubah sewaktu-waktu, menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha asing.
Tak hanya itu, AS juga mengkritisi Peraturan BPJPH Nomor 3 Tahun 2023. Regulasi tersebut mengatur akreditasi lembaga sertifikasi halal asing, termasuk dari AS.
Persyaratan dokumentasi yang kompleks, rasio auditor yang ketat, serta biaya akreditasi disebut memberatkan.
“Kebijakan ini menunda prosedur akreditasi secara tidak perlu bagi BPH AS yang ingin mendapat pengakuan resmi untuk mengekspor produk halal ke Indonesia,” lanjut laporan itu.
Menurut USTR, proses itu juga menyulitkan upaya lembaga halal asing untuk menjalin Perjanjian Pengakuan Bersama (MRA) dengan BPJPH—sebuah tahapan wajib sebelum produk bisa diterima di pasar RI.
AS pun terus menyuarakan keberatan mereka lewat forum internasional. Sejak 2019, Negeri Paman Sam rutin mengangkat isu ini di Komite TBT WTO dan Komite Perdagangan Barang WTO.
Kritik ini semakin relevan mengingat Indonesia tengah menerapkan sertifikasi halal wajib secara bertahap hingga 2039.
Kebijakan ini mencakup makanan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, hingga barang konsumsi lainnya.
Di tengah ambisi Indonesia menjadi pusat halal dunia, kritik dari AS justru menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah.
Tak hanya dari sisi regulasi domestik, tapi juga bagaimana menjaga keterbukaan dalam ekosistem dagang global.
