Jakarta – Rencana pemerintah untuk memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen kepada pelanggan rumah tangga kecil dengan daya listrik di bawah 1.300 VA pada periode Juni–Juli 2025 dibatalkan secara mendadak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pembatalan itu disebabkan keterlambatan dalam proses penganggaran, yang membuat pelaksanaan program tidak memungkinkan dilakukan tepat waktu.
Keputusan ini mendapat kritik keras dari anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam. Ia menyatakan bahwa masyarakat merasa diberi harapan palsu karena sebelumnya pemerintah telah mengumumkan rencana insentif tersebut secara terbuka dan luas.
“Hari ini rakyat lagi-lagi dibuat kecewa. Setelah sebelumnya Pemerintah menjanjikan akan memberikan diskon tarif listrik 50 persen, kini janji itu dibatalkan sepihak. Ini bukan hanya soal teknis anggaran, tetapi ini soal moral publik. Masyarakat merasa benar-benar kena prank,” ujar Mufti kepada media di Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Awalnya, diskon tarif listrik ini direncanakan menyasar sekitar 79,3 juta pelanggan rumah tangga kecil dan mulai berlaku sejak 5 Juni hingga 31 Juli 2025. Skema yang digunakan pun serupa dengan kebijakan diskon tarif listrik yang sempat diterapkan pada Januari–Februari 2025 lalu.
Namun, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa anggaran program ini tidak dapat diproses tepat waktu. Setelah rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto pada Senin (2/6/2025), diputuskan bahwa diskon tidak dapat dijalankan.
“Diskon listrik ternyata membutuhkan proses penganggaran yang jauh lebih lambat dari perkiraan. Sehingga, untuk pelaksanaan di Juni dan Juli, kami memutuskan tidak bisa dijalankan,” terang Sri Mulyani.
Mufti Anam menilai pembatalan ini menambah panjang daftar ketidakpastian kebijakan pemerintah dalam menangani kebutuhan dasar rakyat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit. Ia menyoroti bahwa pasca diskon di awal tahun lalu, justru terjadi lonjakan tagihan listrik di bulan berikutnya yang membuat masyarakat resah.
Ia menegaskan bahwa pembatalan ini mencerminkan tidak adanya keberpihakan terhadap kelompok ekonomi menengah ke bawah. “Kebijakan ini tidak mencerminkan keadilan sosial. Saat rakyat butuh uluran, justru dibebani kebijakan yang inkonsisten,” tegasnya.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas koordinasi antarlembaga pemerintah dalam menyusun dan mengeksekusi kebijakan publik yang berdampak langsung terhadap jutaan masyarakat.