Jakarta – Permasalahan pada sistem perpajakan digital Coretax milik Kementerian Keuangan terus menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha. Ketidakstabilan sistem ini membuat proses penerbitan faktur pajak terganggu dan berdampak pada kelancaran arus kas perusahaan.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengakui bahwa hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan sistem tersebut akan sepenuhnya pulih. Ia menyebut pihaknya terus melakukan perbaikan, namun sifatnya masih bertahap dan menyesuaikan kondisi teknis.
“Pokoknya kita perbaiki terus secara berkala ya,” ujarnya usai menghadiri acara diskusi publik di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Sebagai bentuk kompensasi, Kemenkeu disebut telah memberikan keringanan administrasi kepada para wajib pajak, termasuk toleransi terhadap keterlambatan pelaporan dan penerbitan faktur akibat gangguan sistem.
Namun, kondisi ini tetap dinilai tidak cukup. Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, mengungkapkan bahwa sejak Coretax digunakan, jumlah faktur yang berhasil diterbitkan turun drastis dari sebelumnya 60 juta menjadi hanya 30–40 juta per bulan.
“Artinya setengah dari tagihan tidak bisa dilakukan dengan baik. Ini membuat cash flow pengusaha tersendat dan memperparah pelambatan ekonomi di kuartal pertama tahun ini,” ujar Ajib dalam keterangan pada Selasa (13/5/2025).
Menurutnya, pelaku usaha kesulitan mencairkan pembayaran karena penerbitan invoice yang tertunda akibat sistem Coretax. Hal ini memperlambat putaran uang di sektor riil dan membuat aktivitas bisnis melambat secara menyeluruh.
Masalah Coretax ini muncul di tengah tekanan ekonomi yang sedang melambat. Dengan penerimaan pajak yang turun hingga 27,73 persen, efisiensi sistem perpajakan menjadi semakin krusial. Sayangnya, gangguan teknis justru memperburuk kondisi di lapangan.
Ajib menegaskan pentingnya reformasi sistem digital perpajakan yang tidak hanya berbasis teknologi, tetapi juga disesuaikan dengan daya dukung teknis dan kesiapan SDM. Ia menilai Kemenkeu perlu menyusun roadmap pembenahan yang lebih konkret dan transparan.
Kondisi ini menjadi refleksi bahwa integrasi teknologi dalam birokrasi harus disertai dengan evaluasi dan pembaruan sistem yang berkelanjutan, terutama saat sistem itu menyangkut hajat hidup para pelaku ekonomi nasional.