Jual beli emas menjadi bentuk investasi yang semakin populer, terutama melalui platform digital yang memungkinkan transaksi emas tanpa harus menyimpan fisiknya. Namun, dalam Islam, jual beli emas memiliki aturan khusus yang harus dipenuhi agar terhindar dari riba.
Kasus yang sering terjadi adalah pembelian emas melalui aplikasi investasi online, di mana emas hanya tercatat sebagai saldo digital, dan untuk mencairkannya dalam bentuk fisik, pengguna harus membayar biaya tambahan atau menunggu proses tertentu. Lalu, apakah sistem ini sesuai dengan syariat Islam?
Dasar Hukum Jual Beli Emas dalam Islam
Dalam Islam, emas termasuk barang ribawi yang harus diperdagangkan dengan aturan khusus. Rasulullah ﷺ bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ، فَقَدْ أَرْبَى، الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dan tunai. Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba. Baik yang memberi maupun yang menerima sama dosanya.”(HR. Muslim)
Dari hadits ini, para ulama menetapkan bahwa jual beli emas harus memenuhi dua syarat utama agar tidak terjerumus dalam riba nasi’ah:
- Harus tunai (يَدًا بِيَدٍ / yadan bi yadin) – serah terima harus dilakukan di tempat transaksi tanpa ada penundaan.
- Harus sebanding dalam pertukaran (مِثْلًا بِمِثْلٍ / mitslan bi mitslin) jika emas ditukar dengan emas.Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka transaksi emas bisa masuk dalam kategori riba yang diharamkan.
Analisis Jual Beli Emas Virtual
Banyak aplikasi investasi emas memungkinkan pengguna membeli emas dalam jumlah kecil, misalnya 0,1 gram, dan saldo emasnya akan bertambah sesuai dengan jumlah yang dibeli. Namun, emas tersebut tidak langsung diberikan secara fisik, melainkan hanya tercatat dalam akun digital.
Beberapa ulama menilai bahwa jika emas hanya tercatat sebagai saldo digital tanpa kepemilikan fisik yang jelas, maka hukumnya tidak sah. Dalam banyak aplikasi, emas yang dibeli hanya berupa angka digital tanpa bukti kepemilikan fisik yang jelas. Ini bertentangan dengan syarat serah terima langsung (قبض حقيقي / qabdh haqiqi) dalam jual beli emas.
Jika emas tersebut tidak benar-benar tersedia dan hanya diperjualbelikan sebagai angka digital, maka ini masuk dalam jual beli gharar (tidak jelas) yang dilarang dalam Islam.
Jika ada penundaan dalam penyerahan emas setelah pembayaran, maka hukumnya haram karena termasuk riba nasi’ah. Allah berfirman:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً
ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”(QS. Ali ‘Imran: 130)
Jika setelah membeli emas, pengguna harus menunggu beberapa waktu untuk mendapatkan emas fisiknya, maka ini termasuk riba nasi’ah, yaitu tambahan dalam transaksi akibat penundaan serah terima.
Contohnya, jika seseorang membeli emas hari ini, tetapi baru bisa mencairkannya atau mengambil fisiknya dalam beberapa hari atau minggu ke depan, maka transaksi ini tidak memenuhi syarat jual beli tunai.
Sebaliknya, jika emas benar-benar tersedia dan bisa langsung diambil kapan saja tanpa penundaan, maka hukumnya boleh. Beberapa platform investasi emas menyediakan fasilitas untuk langsung mencetak emas fisik yang dibeli, sehingga emas tersebut benar-benar ada dan bisa diambil kapan saja. Jika pengguna bisa mengambil emasnya tanpa penundaan dan emasnya benar-benar tersedia, maka transaksi ini lebih mendekati jual beli emas yang sah dalam Islam.
Jika ingin berinvestasi emas secara syariah, maka pastikan sistemnya tidak mengandung unsur riba atau spekulasi yang merugikan.