Insentif bukan sekadar angka. Di sekolah, angka bisa menggerakkan atau membungkam. Skema insentif harian bagi guru penanggung jawab program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang langkah maju. Namun tanpa tata kelola kuat, kebijakan ini mudah meleset dari tujuan awal.
Kabar terbaru menyebut besaran insentif dibedakan berdasarkan jumlah siswa penerima manfaat di sekolah. Rentangnya Rp50 ribu hingga Rp200 ribu per hari, dibayarkan dua kali sebulan melalui kepala sekolah kepada guru PIC. Ketentuan ini tercantum dalam revisi petunjuk teknis MBG per 31 Oktober 2025.
Pada saat yang sama, pemerintah menyiapkan aturan lebih luas untuk mencegah keracunan massal dalam pelaksanaan MBG. Peraturan Presiden tentang tata kelola disebut akan mengatur standar dapur, waktu memasak, dan tanggung jawab rantai layanan agar keamanan pangan terjamin.
Publik juga mencatat perubahan angka. Sebelumnya, sempat beredar acuan Rp100 ribu per hari bagi guru PIC. Kini muncul skema bertingkat Rp50 hingga Rp200 ribu. Pergeseran ini perlu dijelaskan secara resmi agar tidak memunculkan tafsir berbeda di lapangan.
Fakta bahwa insentif akhirnya menyentuh tenaga pendidik patut diapresiasi. Selama ini, beban administratif dan logistik sering jatuh ke sekolah tanpa kompensasi. Namun, apresiasi tidak boleh menutup kritik. Pertanyaan mendasar tetap sama: apakah guru, yang tugas utamanya mendidik, pantas dibebani tanggung jawab logistik pangan setiap hari?
Dari sisi politik, desain MBG merupakan janji besar pemerintahan baru. Program ini menjadi ujian kredibilitas di mata publik. Jika insentif guru dibaca hanya sebagai cara meredam keluhan, maka ia berpotensi menjadi komunikasi politik yang dangkal. Kebijakan publik semestinya menempatkan guru sebagai mitra sejak perencanaan, bukan sekadar pelaksana ketika kebijakan sudah jadi.
Secara hukum, keberadaan Peraturan Presiden dapat menjadi pagar tanggung jawab. Ia harus menjelaskan siapa yang bertanggung jawab di tiap tahap, mulai perencanaan menu, pengadaan, produksi, hingga distribusi. Tanpa pembagian peran yang jelas, guru berisiko menanggung beban hukum di luar kewenangan profesinya.
Dari sisi sosial, pelibatan guru sebagai PIC bisa menggerus waktu mengajar. Murid kehilangan perhatian pedagogis, terutama di kelas besar. Di daerah dengan kondisi sulit, guru menghadapi tekanan tambahan: keterlambatan distribusi, kualitas makanan, hingga komplain dari orang tua.
Kultur organisasi sekolah pun bisa berubah. Uang insentif mudah menimbulkan kecemburuan jika penunjukan PIC tidak transparan. Publik perlu tahu bagaimana kriteria, rotasi, dan evaluasi dilakukan. Integritas kepala sekolah akan diuji dari cara ia mengatur hal ini.
Secara ekonomi, nominal Rp50 hingga Rp200 ribu tampak menggembirakan. Namun nilainya bergantung pada frekuensi tugas dan jam kerja tambahan. Bila pelaksanaan menuntut kerja di luar jam mengajar, maka beban itu harus dihitung jujur.
Faktor lain yang krusial adalah ekosistem pasokan. Pembatasan kapasitas dapur tanpa dukungan alat, pelatihan, dan tenaga tambahan hanya akan memindahkan masalah. Dapur sekolah yang belum siap bisa kewalahan memenuhi standar keamanan pangan.
Selain insentif, keselamatan pangan adalah isu utama. Pemerintah perlu memastikan standar higienitas diterapkan di semua sekolah. Pengawasan lapangan, audit mendadak, dan pelaporan insiden harus berjalan konsisten. Regulasi tanpa pelaksanaan nyata hanya akan menjadi slogan.
Komunitas pendidikan juga terbelah. Sebagian guru menyambut baik insentif ini, sementara yang lain menganggap pelibatan mereka dalam logistik makanan bukan tanggung jawab profesional. Pemerintah perlu menanggapi keberatan itu dengan dialog terbuka dan data transparan.
Menjamin satu porsi bergizi untuk jutaan anak sekolah setiap hari adalah pekerjaan besar. Guru berada di ujung rantai distribusi yang langsung berhadapan dengan murid dan orang tua. Karena itu, insentif yang adil harus dibarengi dengan pengurangan beban administratif. Pelaporan digital dapat menggantikan tumpukan formulir manual.
Transparansi adalah kunci. Pemerintah perlu menerbitkan dokumen publik tentang skema insentif: rentang nominal, dasar perhitungan, sumber dana, dan jadwal pencairan. Dokumen tersebut harus seragam di seluruh kanal resmi agar tidak ada perbedaan narasi.
Sekolah juga perlu terbuka. Daftar guru PIC, jadwal tugas, dan total insentif bulanan harus diumumkan di papan informasi. Keterbukaan ini bukan untuk mempermalukan, melainkan membangun kepercayaan di lingkungan sekolah.
Selain itu, jalur pengaduan harus mudah diakses. Masyarakat dan guru harus bisa melaporkan keterlambatan, penyelewengan, atau kasus kesehatan dengan cepat. Laporan perlu ditangani lintas instansi, termasuk BGN, dinas pendidikan, dan dinas kesehatan.
Beban kerja guru juga perlu diatur ulang. Jika tugas PIC menyita waktu mengajar, maka sekolah perlu menyiapkan pengganti atau sistem rotasi yang adil. Guru honorer bisa mendapat prioritas, asalkan tidak mengganggu kualitas pembelajaran.
Dari sisi penyelenggaraan, dapur MBG wajib bersertifikat higienitas dan mendapat pelatihan rutin. Pemerintah harus memberi bantuan alat dan fasilitas penyimpanan yang layak agar dapur tidak menanggung risiko hukum akibat keterbatasan sarana.
Pemanfaatan teknologi menjadi solusi efisien. Aplikasi sederhana untuk bukti tugas, foto distribusi, dan tanda terima digital dapat memudahkan pelaporan. Dengan sistem ini, pembayaran insentif akan lebih tepat waktu dan data pelaksanaan bisa diverifikasi lebih cepat.
Program MBG juga seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat pendidikan gizi di sekolah. Guru bisa melibatkan siswa dalam kampanye makan sehat dan menjaga kebersihan makanan. Edukasi semacam ini menumbuhkan kesadaran bersama tanpa menambah beban guru.
Secara fiskal, total biaya kepatuhan perlu dihitung secara terbuka. Insentif guru, peningkatan fasilitas dapur, pengawasan, dan sistem digital semuanya membutuhkan anggaran besar. Namun manfaat jangka panjang berupa peningkatan gizi dan kualitas belajar jauh lebih bernilai jika dikelola dengan transparan.
Komunikasi publik juga perlu diperbaiki. Pemerintah sebaiknya menyampaikan data capaian secara berkala, bukan sekadar slogan. Sebutkan berapa dapur yang lulus audit, berapa yang diperbaiki, dan berapa sekolah yang menyalurkan insentif tepat waktu. Kejujuran proses akan lebih dihargai daripada klaim keberhasilan tanpa data.
Ada sinyal perbaikan dalam kebijakan ini. Skema insentif yang lebih realistis dan penyiapan aturan tata kelola menunjukkan kesadaran pemerintah terhadap tantangan di lapangan. Namun tanpa akuntabilitas nyata, kebijakan ini bisa berubah menjadi biaya politik jangka pendek yang hanya berfungsi menenangkan kritik.
Insentif seharusnya menumbuhkan motivasi, bukan menutup mulut. Guru berhak atas kompensasi yang layak dan perlindungan dalam bekerja. Murid berhak atas makanan bergizi yang aman dan tepat waktu. Negara wajib memastikan keduanya berjalan seimbang.
Kesimpulannya jelas. Bayarkan insentif tepat waktu, publikasikan aturan yang seragam, lakukan audit lapangan rutin, dan aktifkan jalur pengaduan yang efektif. Dengan itu, insentif MBG akan menjadi pengungkit kualitas layanan, bukan sekadar alat meredam suara kritis.
