Pemerintahan Prabowo Subianto baru berjalan beberapa bulan, tetapi riak politik sudah terasa kuat. Narasi tentang kegagalan menjaga keamanan negara, bahkan desakan agar presiden mundur, kembali mencuat di ruang publik. Skenario semacam ini jelas membahayakan demokrasi dan mengancam stabilitas bangsa.
Fokus utama kritik bukan hanya diarahkan pada Prabowo, melainkan juga pada DPR. Banyak pihak melihat bahwa lembaga legislatif masih didominasi wajah lama—politisi yang dekat dengan warisan kekuasaan sebelumnya. DPR kemudian dipersepsikan bukan sebagai pengawal rakyat, melainkan sebagai alat tawar elit yang ingin menjaga pengaruhnya.
Kondisi ini membuat publik curiga bahwa skenario politik tertentu sedang disiapkan. Ada kekhawatiran, Prabowo digoyang melalui DPR, lalu kekuatan lama kembali mengambil alih. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa parlemen sering dijadikan arena manuver politik yang bisa menjatuhkan pemerintahan, meski presiden dipilih secara sah oleh rakyat.
Secara politik, langkah seperti itu berbahaya. Ia mengabaikan legitimasi rakyat yang sudah jelas diberikan lewat pemilu. Jika DPR digunakan sebagai alat penggulingan, maka demokrasi hanya menjadi kedok, sementara oligarki tetap berkuasa di belakang layar. Itulah sebabnya menjaga pemerintah yang sah menjadi agenda penting hari ini.
Dari sisi hukum, UUD 1945 jelas memberikan mandat kepada presiden yang terpilih untuk memimpin selama lima tahun, kecuali terbukti melakukan pelanggaran berat melalui mekanisme hukum yang sah. Artinya, wacana menggulingkan Prabowo melalui tekanan politik semata tidak punya dasar konstitusional. Jika dipaksakan, itu justru akan merusak tatanan hukum dan membuka krisis ketatanegaraan.
Secara sosial, skenario penggulingan hanya akan menambah penderitaan rakyat. Masyarakat saat ini sudah menghadapi beban berat akibat kenaikan harga kebutuhan pokok dan terbatasnya lapangan kerja. Ketidakpastian politik akan memperburuk kondisi ini. Rakyat kembali dipaksa menonton drama elit, sementara mereka butuh kepastian ekonomi dan jaminan keamanan.
Dampak ekonomi pun sangat nyata. Investor selalu mengaitkan keputusan mereka dengan stabilitas politik. Bank Dunia dan lembaga rating global sering menurunkan proyeksi pertumbuhan suatu negara ketika tensi politik meningkat. Jika isu kudeta politik terus berkembang, maka arus investasi bisa melambat, bahkan keluar. Akibatnya, program pembangunan yang dijanjikan Prabowo sulit diwujudkan.
Budaya politik Indonesia juga tidak lepas dari masalah. Patronase dan oligarki masih mendominasi. Banyak kursi di DPR diisi oleh politisi lama yang masih setia pada kepentingan elit. Selama sistem ini tidak berubah, DPR akan tetap menjadi alat manuver, bukan lembaga pengawal rakyat.
Namun, membubarkan DPR atau menggulingkannya bukanlah jalan keluar. Demokrasi justru akan hancur jika lembaga legislatif dilemahkan. Solusinya adalah memperkuat transparansi, memperketat pengawasan publik, dan mendorong reformasi sistem pemilu. Rakyat harus diberi ruang lebih besar untuk menghadirkan wajah-wajah baru di parlemen.
Pemerintah perlu lebih cerdas menghadapi DPR. Prabowo harus membangun komunikasi politik yang sehat, bukan sekadar reaktif terhadap serangan. Kompromi strategis bisa dilakukan tanpa mengorbankan integritas, sehingga agenda pembangunan tetap berjalan. Menghadapi DPR dengan cara konfrontatif justru akan membuka jalan bagi skenario penggulingan.
Di sisi lain, masyarakat sipil tidak boleh diam. Media, akademisi, dan aktivis perlu mengawasi DPR agar tidak menjadi alat oligarki. Literasi politik harus diperkuat agar publik tidak mudah digiring ke narasi yang merugikan. Demokrasi hanya bisa bertahan bila rakyat ikut serta mengawal jalannya pemerintahan.
Tugas besar lainnya adalah menyiapkan pemilu yang lebih adil di masa depan. Jika Prabowo ingin memastikan transisi politik yang sehat, ia harus berani mendorong reformasi pemilu. Sistem pemilu yang bebas dari dominasi uang dan oligarki adalah kunci untuk menghasilkan DPR yang benar-benar representatif.
Kita juga harus melihat ke belakang sebagai pelajaran. Pada era pasca-Soeharto, parlemen sering menjadi alat tawar elit yang berujung pada lengsernya presiden. Reformasi 1998 memang memberi ruang demokrasi, tetapi warisan oligarki tetap bercokol. Saat ini, skenario serupa tampak coba dimainkan kembali dengan wajah baru.
Bahaya terbesar dari skenario ini adalah hancurnya kepercayaan publik terhadap demokrasi. Jika rakyat melihat bahwa presiden yang dipilih sah bisa dengan mudah digulingkan oleh manuver elit, maka kepercayaan pada sistem pemilu akan runtuh. Ketidakpercayaan itu bisa berujung pada apatisme, bahkan konflik horizontal.
Karena itu, menjaga pemerintah yang sah bukan sekadar soal mempertahankan Prabowo. Ini soal mempertahankan demokrasi agar tidak jatuh ke tangan oligarki. Pemerintah harus tegas, tetapi juga inklusif. DPR harus dikritisi, tetapi melalui jalur reformasi, bukan penghancuran.
Sebagai media, kami menegaskan bahwa bangsa ini hanya bisa maju bila transisi kekuasaan dijaga sesuai aturan main. Prabowo harus diberi kesempatan memimpin sesuai mandat lima tahun yang ia dapatkan. Jika ada kegagalan, biarlah rakyat yang menilai pada pemilu berikutnya, bukan melalui manuver elit di parlemen.