Enam kali ganti kurikulum dalam dua dekade terakhir mencerminkan betapa pendidikan di Indonesia dijalankan tanpa arah yang konsisten. Mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, Kurikulum Merdeka 2022, hingga Kurikulum Nasional 2024. Semua datang silih berganti, seolah pendidikan bisa disesuaikan dengan selera kekuasaan.
Rata-rata, satu kurikulum hanya bertahan kurang dari empat tahun. Setiap kali kursi Menteri Pendidikan berganti, arah kurikulum pun ikut berubah. Padahal, pendidikan bukan ruang eksperimentasi kebijakan. Ini adalah ruang kehidupan yang menentukan masa depan generasi bangsa.
Perubahan itu bukan persoalan. Yang jadi masalah adalah perubahan yang terlalu cepat, terlalu sering, dan tanpa evaluasi menyeluruh. Kurikulum seharusnya tumbuh bersama proses, bukan didorong oleh ego birokrasi yang ingin meninggalkan jejak kebijakan.
Guru menjadi korban utama dari instabilitas ini. Mereka harus mengikuti pelatihan berulang, menyusun ulang perangkat ajar, dan menyesuaikan metode yang terus berubah. Dalam kondisi semrawut seperti ini, bagaimana mungkin kualitas pendidikan dapat dijaga?
Siswa pun tak luput dari dampaknya. Mereka tumbuh dalam sistem yang tak sempat matang. Belum sempat memahami pendekatan satu kurikulum, mereka sudah dihadapkan pada sistem baru. Alih-alih memfasilitasi pembelajaran, kurikulum justru membingungkan.
Pendidikan seharusnya menjadi investasi jangka panjang. Namun apa yang kita lihat adalah keputusan jangka pendek yang hanya menguntungkan satu periode jabatan. Padahal, generasi muda tidak hidup untuk masa jabatan menteri. Mereka hidup untuk masa depan mereka sendiri.
Kita tak bisa lagi menyerahkan seluruh urusan pendidikan anak kepada negara. Negara tak pernah serius membangun sistem pendidikan yang tahan lama. Yang mereka urus hanyalah akreditasi, sertifikasi, dan distribusi ijazah.
Maka, didiklah anak kita sendiri. Jadikan rumah sebagai sekolah yang pertama dan utama. Jangan serahkan akal sehat anak-anak kita pada kurikulum yang berubah setiap kali kabinet reshuffle.
Nilai-nilai hidup seperti kejujuran, keberanian, logika berpikir, dan empati sosial tidak akan diajarkan secara utuh di sekolah. Apalagi jika sekolah hanya fokus pada pencapaian angka ujian.
Ijazah masih dibutuhkan untuk hidup di Indonesia. Maka, ambillah ijazah itu dari sekolah. Namun arahkan pendidikan sejati anak kita di rumah, di lingkungan, dan dalam praktik hidup sehari-hari.
Jargon “Merdeka Belajar” hanya akan jadi slogan jika sistemnya tetap otoriter. Tidak ada kemerdekaan di bawah sistem pendidikan yang dipakai sebagai alat kontrol birokrasi.
Jika pendidikan terus dijadikan proyek politis, maka anak-anak kita akan terus menjadi korban. Mereka tak pernah punya kesempatan untuk mengenali potensi dirinya karena terus dibentuk sesuai proyek pejabat.
Saatnya orang tua bangun dari tidur panjang. Jangan biarkan negara yang belum selesai dengan urusan kekuasaannya, turut mengatur seluruh isi pikiran anak-anak kita.
Mereka berhak tumbuh dalam sistem yang mendidik, bukan menekan. Mereka berhak mengenal nilai-nilai hidup, bukan sekadar hafalan dan lembar soal.
Pendidikan sejati tak bisa diproduksi massal. Ia hanya bisa ditanamkan secara personal—oleh orang tua yang sadar, oleh keluarga yang peduli.
Ambillah peran itu. Jangan tunggu negara berubah. Karena sejarah membuktikan, negara terlalu lambat, terlalu ragu, dan terlalu politis dalam soal pendidikan.