Jakarta – Jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), jumlahnya turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 48,27 juta orang pada 2023, atau turun sekitar 18,8 persen. Penurunan sebesar 9,06 juta jiwa ini mencerminkan tantangan besar bagi perekonomian Indonesia.
Penurunan jumlah kelas menengah ini juga berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN, Zamroni Salim, menyebut bahwa terbatasnya lapangan pekerjaan menjadi salah satu penyebab utama.
“Penurunan kelas menengah berkaitan dengan terbatasnya lapangan pekerjaan, yang kemudian memengaruhi pertumbuhan produksi,” ujarnya pada Sabtu (14/12/2024) sebagaimana diberitakan CNBC Indonesia.
Standar kemiskinan Indonesia juga menjadi perhatian. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada pengeluaran Rp877.629 per bulan, sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan angka lebih rendah, yakni di bawah Rp600 ribu. Perbedaan ini mengindikasikan tantangan dalam pengelompokan sosial dan politis masyarakat.
Selain itu, kelompok masyarakat rentan miskin meningkat dari 54,97 juta orang atau 20,56 persen pada 2019, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23 persen pada 2024. Hal ini menunjukkan banyak golongan kelas menengah yang jatuh ke kelompok rentan miskin.
Menurut Andrinof Chaniago, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), penurunan kelas menengah ini tidak sepenuhnya dipicu pelemahan ekonomi, melainkan buruknya distribusi ekonomi. Andrinof menyebut sektor-sektor dengan profit tinggi seperti pertambangan tidak memberikan dampak ekonomi yang inklusif.
“Distribusinya buruk. Sektor seperti tambang hanya dikuasai oleh sedikit pihak, sementara jumlah pekerjanya pun terbatas,” jelas Andrinof.
Ia menambahkan bahwa sektor yang mampu menggerakkan ekonomi inklusif, seperti manufaktur, menghadapi tantangan besar. Biaya produksi tinggi dan pasar terbuka untuk produk luar negeri menjadi penghambat utama. Akibatnya, banyak pelaku usaha akhirnya memilih sektor ekstraktif seperti kelapa sawit, batu bara, dan nikel yang menawarkan margin tinggi.
“Dengan risiko rendah dan margin tinggi, sektor ekstraktif menjadi pilihan utama dibandingkan industri manufaktur,” tuturnya.
Penurunan kelas menengah ini menjadi sinyal bahwa pemerintah perlu memperbaiki distribusi ekonomi, meningkatkan investasi pada sektor inklusif, serta menciptakan lebih banyak lapangan kerja agar kelompok ini dapat kembali tumbuh.
