Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru saja mengumumkan rencana membuka enam taman kota selama 24 jam. Tujuannya mulia: menciptakan ruang publik yang lebih inklusif, tempat warga bisa beristirahat, bersosialisasi, atau sekadar melepas penat di tengah kerasnya hidup ibu kota.
Namun, di tengah antusiasme terhadap taman, satu pertanyaan muncul: mengapa taman bisa dibuka 24 jam, sementara banyak masjid justru dikunci setelah Isya?
Ini bukan sekadar perbandingan teknis antara dua fasilitas umum. Ini soal paradigma negara dalam menata ruang publik—tentang apa yang diprioritaskan, dan siapa yang diuntungkan.
Taman adalah ruang sosial yang penting. Tapi mari jujur, ia juga rentan disalahgunakan. Data dan pengalaman di Jakarta sudah cukup menjelaskan: RTH pernah menjadi tempat transaksi gelap, prostitusi terselubung, hingga lokasi kekerasan seksual. Bahkan DPRD sendiri mengingatkan potensi “risiko mesum” di taman-taman yang dibuka 24 jam.
Lalu bandingkan dengan masjid. Ruang ibadah yang sudah pasti memiliki orientasi spiritual, tata nilai, serta pengawasan internal dari takmir dan jamaah.
Masjid tidak hanya tempat shalat. Ia juga bisa menjadi tempat beristirahat bagi musafir, tempat berlindung dari kejahatan malam, tempat curhat para fakir miskin, bahkan pusat edukasi dan dakwah. Dalam sejarah Islam, masjid adalah pusat kehidupan.
Sayangnya, banyak masjid di Jakarta dan kota besar lainnya dikunci rapat setelah malam. Alasannya klasik: keamanan, kekhawatiran disalahgunakan, dan minimnya penjaga malam. Tapi jika alasan yang sama bisa diatasi untuk taman, mengapa tidak dicoba untuk masjid?
Apakah masjid tak dianggap sebagai bagian dari ruang publik yang perlu dirawat dan dibuka aksesnya? Ataukah kita diam-diam mulai merasa masjid tidak lagi relevan bagi kehidupan urban yang serba cepat dan pragmatis?
Padahal, membuka masjid 24 jam bisa memberi manfaat besar. Bagi pekerja malam yang ingin singgah dan berdoa. Bagi pengemudi ojol yang butuh rehat. Bagi warga yang mencari ketenangan batin. Dan tentu saja, bagi mereka yang tak punya tempat berteduh—asal dikelola dengan bijak dan manusiawi.
Pemerintah bisa bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia, lembaga zakat, dan komunitas takmir untuk memastikan keamanan dan kebersihan. Bahkan bisa disinergikan dengan program sosial—mulai dari layanan konsultasi, bantuan makanan, hingga tempat tidur darurat.
Dengan begitu, masjid bukan hanya simbol agama, tapi benar-benar hadir sebagai pusat pelayanan umat.Kalau taman bisa dijaga dengan CCTV, penerangan, dan satpam, masjid tentu bisa dikelola lebih baik—bahkan dengan nilai-nilai adab yang lebih kuat.
Poin utamanya bukan untuk menolak taman 24 jam. Tapi untuk menyuarakan keadilan perlakuan terhadap ruang-ruang publik yang bernilai spiritual. Karena tidak semua orang mencari pelarian di taman. Banyak yang mencari kedamaian di rumah Allah.
Sudah saatnya kita berpikir lebih utuh. Membangun kota bukan hanya soal menambah fasilitas fisik, tapi juga menghidupkan ruang ruhani.Dan dalam suasana masyarakat yang makin tertekan secara mental, spiritual, dan ekonomi, membuka masjid 24 jam bisa menjadi langkah konkret merawat harapan.