Kongres III Projo yang akan digelar pada awal November mendatang kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena dinamika internal organisasinya, melainkan karena daftar tamu undangan yang kabarnya mencakup Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan undangan itu telah diterima. Publik kini menunggu satu hal: apakah Presiden akan hadir?
Pertanyaan sederhana ini sesungguhnya menyimpan makna yang jauh lebih dalam. Jika Presiden benar datang ke forum relawan, langkah itu akan menegaskan dirinya sebagai sosok yang belum sepenuhnya berdiri di atas semua golongan.
Kehadiran tersebut dapat menjadi simbol bahwa kepala negara masih menempatkan dirinya dalam orbit kelompok tertentu. Dalam istilah yang beredar di ruang publik, hal itu bisa dianggap sebagai “termul”.
Projo, yang sejak awal berdiri sebagai kekuatan politik pendukung Joko Widodo, kini memiliki struktur yang kuat dan pengaruh yang luas. Di bawah kepemimpinan Budi Arie Setiadi, yang juga menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika, organisasi ini tampak ingin menjaga relevansinya di era pemerintahan Prabowo Gibran.
Di sinilah persoalannya bermula. Seorang presiden semestinya berdiri di atas semua kepentingan. Ia adalah simbol pemersatu bangsa, bukan representasi dari satu kelompok atau jaringan politik tertentu.
Menghadiri kongres relawan yang jelas memiliki afiliasi politik bukan sekadar soal etika, tetapi menyangkut marwah kenegaraan.
Rakyat tentu memahami bahwa politik Indonesia bersifat cair dan relasi antarfigur kerap berkelindan. Namun publik juga berhak menuntut ketegasan moral dari seorang kepala negara.
Setiap langkah presiden membawa pesan simbolik. Bukan hanya sekadar urusan protokoler, tetapi cermin dari arah keberpihakan dan wibawa kepemimpinan.
Kehadiran seorang presiden di forum relawan yang partisan akan menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat. Apakah negara sedang hadir untuk menyapa rakyat, atau justru sedang memperkuat hubungan dengan jaringan politik masa lalu?
Jika Prabowo benar menghadiri Kongres Projo, pesan yang muncul akan sangat kuat. Negara terlihat masih berada dalam pusaran politik personal, bukan dalam ruang kenegaraan yang netral.
Kaburnya garis antara relawan, partai, dan kekuasaan hanya akan memperlemah fondasi demokrasi. Ia menciptakan kesan bahwa kekuasaan masih berpijak pada loyalitas, bukan pada mandat rakyat dan hukum.
Presiden Jokowi dahulu memang lahir dari dukungan besar gerakan relawan. Namun masa itu telah berlalu. Kini, negara berada di bawah kepemimpinan baru yang semestinya menegaskan kemandirian dan wibawa kenegaraannya.
Sungguh tidak layak bagi seorang presiden menghadiri forum yang diinisiasi oleh organisasi relawan politik. Apalagi ketika organisasi tersebut masih jelas berposisi sebagai kelompok dukungan terhadap figur tertentu.
Negara ini tidak dibangun di atas jaringan relawan, melainkan atas kedaulatan rakyat. Republik ini bukan kelanjutan dari gerakan politik personal, tetapi sistem yang berdiri di atas prinsip hukum dan kesetaraan warga negara.
Menjaga jarak antara kekuasaan dan relawan adalah bentuk kedewasaan politik. Bukan hanya pilihan etis, melainkan tanggung jawab moral yang melekat pada jabatan kepala negara.
Kewibawaan seorang pemimpin diuji bukan hanya lewat kebijakannya, tetapi juga melalui sikap dan gestur politiknya. Dalam hal ini, tidak hadir di forum yang partisan justru dapat menjadi langkah yang lebih bermartabat.
Publik berharap Prabowo menunjukkan sikap kenegarawanan. Menjaga jarak dari simbol-simbol politik lama akan memperkuat citra bahwa ia pemimpin seluruh rakyat, bukan hanya bagian dari lingkaran tertentu.
Kepercayaan publik terhadap pemerintahan baru sedang bertumpu pada hal sederhana: keberanian Presiden menegaskan diri sebagai pemimpin untuk semua.
Kedekatan pribadi dengan tokoh-tokoh relawan memang sulit dihindari. Tetapi seorang kepala negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hubungan itu tidak menimbulkan kesan keberpihakan.
Politik personal boleh hidup di masa kampanye. Namun ketika masa pemerintahan dimulai, loyalitas hanya pantas diberikan kepada rakyat, bukan kepada kelompok yang dulu memberi dukungan.
Relawan memang pernah memiliki peran penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Mereka menjadi motor partisipasi rakyat dan suara moral di tengah kepentingan politik.
Tetapi ketika relawan terlalu dekat dengan kekuasaan, mereka kehilangan daya kritisnya. Mereka bukan lagi pengingat bagi penguasa, melainkan pengawal bagi kekuasaan itu sendiri.
Jika seorang presiden hadir untuk memberi restu pada keadaan semacam ini, maka jarak moral antara penguasa dan rakyat akan semakin menipis.
Kehadiran di Kongres Projo bukan peristiwa biasa. Ia akan menjadi preseden bagi hubungan antara kekuasaan dan kelompok relawan di masa depan.
Apakah negara akan terus membuka ruang istimewa bagi kelompok yang loyal secara politik? Atau justru akan menegaskan dirinya sebagai institusi yang netral dan berdiri di atas semua kepentingan?
Keputusan ada di tangan Presiden. Bila ia hadir, maka pesan yang muncul jelas: negara ini masih sulit melepaskan diri dari bayang-bayang politik relawan.
Namun jika ia memilih untuk tidak hadir, itulah langkah kecil yang bernilai besar. Sebuah isyarat bahwa kepala negara memahami batas antara dukungan politik dan tanggung jawab kenegaraan.
Seorang presiden yang kuat bukan yang dikelilingi banyak relawan, tetapi yang mampu berdiri tegak di atas kakinya sendiri.
Kehadiran di Kongres Projo bisa menjadi peristiwa sederhana, namun dampaknya akan membekas. Di mata rakyat, itu dapat membedakan antara seorang pemimpin yang bebas dan berdaulat, dengan pemimpin yang masih “termul” dalam jaringan politik lama.
Negara ini tidak boleh berubah menjadi negara relawan perorangan. Karena jika kedaulatan rakyat digantikan oleh loyalitas personal, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung penghormatan, sementara rakyat menonton dari luar, merasa tak lagi memiliki panggung itu.
