Gelombang protes yang melanda Indonesia hari-hari ini menandai krisis yang jauh lebih dalam daripada sekadar persoalan tunjangan DPR atau kekerasan aparat. Ia menunjukkan bahwa saluran-saluran tradisional bagi aspirasi rakyat telah macet. Akademisi yang seharusnya menjadi suara nurani dan aktivis yang biasanya berdiri di garis depan, kini melemah atau bungkam.
Di tengah kekosongan itu, rakyat turun sendiri ke jalan. Mereka marah, tetapi tanpa arah yang jelas. Protes yang awalnya menuntut keadilan berubah menjadi aksi anarkis. Ketika kontrol moral hilang, energi rakyat meluap tanpa kendali, dan negara pun masuk ke pusaran ketidakpastian.
Sejarah Indonesia selalu menunjukkan bahwa intelektual dan aktivis memegang peran penting. Reformasi 1998 tidak mungkin terjadi tanpa keberanian mahasiswa, akademisi, dan gerakan sipil. Tetapi hari ini, kita melihat kampus-kampus yang lebih sibuk menjaga kenyamanan politik. Banyak rektor memilih aman, riset kritis jarang terdengar, dan forum diskusi independen semakin sempit.
Aktivis pun banyak yang kehilangan tajinya. Sebagian masuk ke lingkaran kekuasaan, mendapat jabatan atau proyek, sementara sebagian lain terjebak dalam agenda pragmatis. Akibatnya, gerakan sipil yang dulu menjadi penyeimbang negara kini kehilangan daya. Rakyat tidak lagi punya pemandu moral yang bisa menyalurkan aspirasi secara terorganisir.
Di sinilah akar persoalannya. Tanpa akademisi yang kritis dan aktivis yang konsisten, rakyat tidak punya jalan lain selain mengekspresikan frustrasi secara langsung. Hasilnya bisa kita lihat: aksi massa besar, bentrokan dengan aparat, bahkan kerusuhan. Aspirasi rakyat berubah menjadi amarah kolektif yang tak terkendali.
Secara politik, keadaan ini sangat berbahaya. Negara membutuhkan oposisi moral untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Jika tidak ada yang berani bicara lantang, maka elit akan merasa bebas melakukan apa saja. Akhirnya, rakyat sendiri yang mengambil alih fungsi itu dengan cara yang kasar dan destruktif.
Dari sisi hukum, ketidakmampuan negara melindungi hak-hak sipil hanya memperkuat krisis. Tragedi tewasnya seorang pengemudi ojek online dalam demonstrasi adalah bukti nyata. Hukum gagal menjadi pelindung rakyat, aparat justru menjadi momok. Ketika hukum lumpuh dan moral publik mati, jalan anarkis terasa satu-satunya pilihan bagi rakyat yang terdesak.
Secara sosial, polarisasi semakin dalam. Sebagian rakyat merasa tidak ada lagi institusi yang bisa dipercaya: bukan DPR, bukan kampus, bukan aktivis, bahkan bukan aparat hukum. Kondisi ini menciptakan ruang kosong yang mudah diisi oleh provokator atau kelompok oportunis. Rakyat yang marah menjadi bahan bakar bagi kekacauan yang lebih besar.
Ekonomi pun terkena dampaknya. Pasar keuangan merosot, rupiah melemah, dan investasi tertunda. Semua ini terjadi bukan karena krisis ekonomi murni, melainkan karena krisis kepercayaan. Investor tahu bahwa stabilitas politik adalah syarat mutlak, dan ketika rakyat bergerak tanpa arah, risiko meningkat tajam.
Budaya politik kita turut bertanggung jawab. Selama bertahun-tahun, politik lebih dipahami sebagai perebutan kursi dan kekuasaan, bukan sebagai ruang etis untuk mengabdi pada rakyat. Akademisi dan aktivis yang seharusnya menjaga idealisme perlahan ikut terseret arus. Tanpa fondasi etika, demokrasi kehilangan jiwa.
Namun, keadaan ini tidak boleh dianggap akhir segalanya. Justru di tengah krisis, peluang pembaruan muncul. Pemerintah bisa mengambil inisiatif untuk menghidupkan kembali ruang dialog. Kampus harus diberi kebebasan penuh untuk menjadi pusat kritik dan riset independen. Aktivis perlu didorong agar tetap otonom, bukan sekadar perpanjangan tangan partai atau elit.
Prabowo sebagai presiden menghadapi ujian besar. Ia bisa memilih menekan protes dengan kekerasan, tetapi itu hanya akan memperdalam luka sosial. Pilihan yang lebih bijak adalah merangkul rakyat melalui reformasi nyata: memotong privilese DPR, menata ulang kepolisian, dan menunjukkan keberpihakan yang jelas kepada rakyat kecil.
Pemerintah juga perlu membangun kepercayaan baru dengan masyarakat sipil. Aktivis yang kritis jangan dilihat sebagai musuh, melainkan sebagai mitra pengingat. Akademisi yang lantang harus dilindungi, bukan dibungkam. Demokrasi hanya bisa bertahan jika kritik dianggap sebagai bagian dari solusi, bukan ancaman.
Dari sisi rakyat, protes harus tetap dijaga dalam batas damai. Kekerasan hanya akan merusak legitimasi gerakan dan memberi alasan kepada pemerintah untuk menindas. Masyarakat sipil perlu menemukan kembali cara berorganisasi, agar aspirasi rakyat bisa disalurkan dengan tertib dan efektif.
Sejarah selalu memberi pelajaran. Ketika ruang moral mati, rakyat cenderung memilih jalan anarkis. Tetapi jika moral publik dibangkitkan kembali lewat keberanian akademisi, konsistensi aktivis, dan partisipasi sipil yang sehat, maka krisis bisa diubah menjadi momentum perubahan positif.
Sebagai media, kami menegaskan bahwa demokrasi Indonesia tidak boleh mati bersama akademisi dan aktivis yang bungkam. Rakyat berhak atas suara, tetapi suara itu harus disalurkan lewat saluran yang bermartabat. Negara harus menjamin ruang itu, atau bersiap menghadapi gelombang anarki yang lebih besar.