Tidak ada pengkhianatan yang lebih kejam selain korupsi terhadap dana rakyat kecil. Dana desa, yang sejatinya diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat di pelosok, kini berubah menjadi santapan empuk para pejabat lokal yang rakus.
Kasus Mugo Harsono, mantan Kepala Desa Marga Batin di Lampung Timur, adalah potret nyata kegagalan moral yang mempermalukan bangsa. Setelah lebih dari setahun buron, akhirnya ia ditangkap aparat. Tapi penangkapan ini hanya secuil dari gunung es korupsi dana desa yang menganga di banyak wilayah Nusantara.
Data audit Inspektorat menyebutkan kerugian negara mencapai Rp321 juta akibat ulahnya. Ini bukan angka kecil bagi desa yang mungkin masih kekurangan akses jalan layak, air bersih, atau fasilitas pendidikan. Itu uang keringat rakyat, uang yang mestinya mengubah nasib warga desa dari gelap menuju terang.
Yang lebih memilukan, ini bukan kejadian sekali dua kali. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, kasus penyalahgunaan dana desa terus meningkat. Bahkan, dana desa menjadi salah satu sumber korupsi yang paling banyak ditangani Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi di berbagai daerah.
Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dana desa, sekaligus rapuhnya integritas moral para pemegang amanah di tingkat bawah. Ironisnya, banyak di antara mereka dulunya dipilih rakyat karena dianggap sebagai “orang kampung sendiri” yang mengerti derita rakyat. Tapi justru setelah duduk di kursi kekuasaan, mereka mengkhianati kepercayaan itu demi memperkaya diri.
Mengapa korupsi dana desa marak? Jawabannya berlapis. Pertama, karena sistem pengawasan internal sangat longgar. Banyak desa tidak memiliki mekanisme audit independen yang kuat. Inspektorat daerah kadang hanya menjadi stempel formalitas, bukan lembaga pengawas yang sesungguhnya.
Kedua, politisasi jabatan kepala desa. Dalam banyak kasus, pemilihan kepala desa kini tak ubahnya pilkada kecil-kecilan. Ada sponsor politik, ada mahar, ada janji jabatan. Setelah menang, tak sedikit kepala desa yang merasa berutang budi kepada “pemodal”. Maka mereka merasa berhak “mengambil kembali” biaya politik itu dari proyek-proyek desa.
Ketiga, budaya permisif terhadap korupsi di tingkat lokal. Di banyak tempat, kepala desa yang korupsi tetap dihormati selama masih “dermawan” kepada masyarakat. Bantuan pribadi dalam bentuk sumbangan acara desa, pembangunan masjid, atau pemberian hadiah pada acara adat sering membuat warga “tutup mata” terhadap dugaan korupsi yang dilakukan.
Siklus inilah yang membuat korupsi dana desa terus berulang dan seolah menjadi “kebiasaan baru”.
Kini, saat seorang mantan kades seperti Mugo Harsono ditangkap, publik seharusnya tidak puas hanya dengan sekadar penahanan. Proses hukumnya harus transparan, cepat, dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Bukan hanya demi efek jera, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan rakyat bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan.
Penting juga untuk menelusuri aliran dana hasil korupsi tersebut. Tidak cukup sekadar menghukum pelaku utama. Perlu diusut, ke mana saja uang itu mengalir. Siapa saja yang turut menikmati. Jangan biarkan praktik-praktik ini berhenti di satu orang, sementara jejaring korupsinya tetap hidup subur.
Kasus Lampung Timur ini juga memberi pelajaran pahit bahwa program besar seperti Dana Desa, yang sebenarnya revolusioner, bisa gagal di tangan aparat lokal yang tak bermoral. Padahal, Dana Desa adalah instrumen penting pemerataan pembangunan yang sudah sejak era Presiden Joko Widodo digembar-gemborkan sebagai tumpuan kesejahteraan desa.
Apakah konsep Dana Desa harus ditinjau ulang? Bukan konsepnya yang salah. Tapi sistem pengawasan dan integritas aparat pelaksananya yang harus diperketat. Audit independen harus diperkuat, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi harus difasilitasi, dan hukuman terhadap pelaku korupsi harus dibuat jauh lebih berat.
Masyarakat desa juga harus didorong untuk lebih berani melaporkan penyimpangan. Proteksi terhadap pelapor harus dijamin oleh aparat penegak hukum. Jangan biarkan warga kecil yang melaporkan kades korup malah dikriminalisasi atau ditekan secara sosial.
Di sisi lain, pendidikan anti-korupsi harus masuk hingga ke tingkat desa. Kepala desa, perangkat desa, bahkan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) harus diberi pelatihan intensif tentang transparansi anggaran, pengelolaan keuangan yang akuntabel, serta konsekuensi hukum penyalahgunaan wewenang.
Kini, semua mata memandang kasus Mugo Harsono. Apakah dia akan dihukum berat atau hanya akan mendapat vonis ringan dan kembali menikmati hasil kejahatannya setelah keluar dari penjara. Ini adalah ujian nyata bagi aparat penegak hukum kita.
Dan kepada para kepala desa lain di seluruh Indonesia, kasus ini harus menjadi peringatan keras: korupsi dana desa adalah pengkhianatan kelas berat terhadap bangsa sendiri. Tidak ada alasan pembenaran, tidak ada ruang kompromi.
Bagi pemerintah pusat, kejadian ini harus jadi momentum untuk mereformasi total sistem pengelolaan dana desa. Pengawasan harus berbasis digital, laporan harus terbuka dan real time, serta reward and punishment harus diterapkan ketat.
Jika tidak, skandal demi skandal seperti ini akan terus mencoreng wajah desa-desa kita. Mimpi besar tentang Indonesia yang membangun dari pinggiran akan tinggal isapan jempol.
Rakyat desa berhak mendapat pemimpin yang jujur, bukan maling berkedok pelayan publik.