Beberapa pekan terakhir, publik dihadapkan pada deretan istilah yang jarang terdengar namun tiba-tiba menjadi headline: grasi untuk Tom Lembong, abolisi untuk Hasto Kristiyanto, serta wacana amnesti dan rehabilitasi untuk berbagai tokoh dan kasus masa lalu. Muncul pertanyaan yang wajar: apa arti semua ini, dan apa dampaknya bagi hukum dan kehidupan bernegara?
Istilah-istilah tersebut bukan sekadar kosa kata dalam perundang-undangan. Mereka adalah wujud konkret dari kekuasaan presiden dalam memengaruhi proses hukum, dan di sisi lain, menjadi penentu nasib individu, kelompok, bahkan narasi sejarah. Namun ironisnya, pemahaman publik terhadap istilah ini sangat terbatas. Di saat penggunaannya makin politis, keterbatasan pemahaman ini menjadi ruang gelap yang bisa disalahgunakan.
Untuk itu, penting bagi kita untuk membedah kembali makna dari keempat istilah tersebut secara proporsional, historis, dan kontekstual.
Grasi: Ampunan yang Tidak Menghapus Salah
Grasi adalah hak presiden untuk memberikan pengampunan kepada seseorang yang telah divonis bersalah secara hukum. Bentuknya bisa berupa pengurangan hukuman, perubahan jenis hukuman, atau bahkan penghapusan seluruhnya. Namun penting dicatat, grasi tidak menghapus status bersalah seseorang, hanya meringankan konsekuensi hukum.
Contoh paling nyata adalah kasus Antasari Azhar. Mantan Ketua KPK ini mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo pada tahun 2017, yang kemudian diikuti dengan rehabilitasi nama baik. Namun secara hukum, Antasari tetap tercatat pernah dihukum pidana. Demikian pula dalam kasus Schapelle Corby, warga Australia yang dihukum karena narkotika, yang mendapat grasi dari Presiden SBY berupa pengurangan masa hukuman.
Pada 2024, Tom Lembong—tokoh ekonomi dan mantan pejabat publik—diberitakan menerima grasi dari presiden. Namun konteks pemberian grasi tersebut belum sepenuhnya jelas ke publik. Inilah letak urgensinya: setiap grasi harus dibarengi transparansi alasan, agar publik tak menilai bahwa grasi hanyalah “karpet merah” untuk elite yang bermasalah.
Amnesti: Pengampunan Kolektif dengan Makna Politik
Amnesti merupakan penghapusan seluruh akibat hukum pidana terhadap seseorang atau kelompok. Tidak seperti grasi, amnesti menghapus status pidana sepenuhnya. Biasanya, amnesti diberikan dalam konteks politik, seperti rekonsiliasi nasional atau pengakhiran konflik bersenjata.
Dalam sejarah Indonesia, amnesti pernah diberikan kepada tokoh-tokoh pemberontakan PRRI/Permesta pada awal 1960-an. Tujuannya adalah mengakhiri konflik bersenjata dan mengintegrasikan kembali mereka ke kehidupan sipil. Amnesti juga pernah diberikan kepada eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka seperti Din Minimi, setelah proses damai Aceh.
Yang lebih unik adalah kasus Baiq Nuril pada 2019. Ia bukan pelaku kekerasan politik, tetapi korban. Karena menggunakan rekaman untuk membela diri dari pelecehan, ia justru dihukum atas pelanggaran UU ITE. Publik bergerak, tekanan meningkat, dan Presiden Jokowi memberikan amnesti. Ini menjadi preseden penting: amnesti bisa digunakan untuk mengoreksi ketidakadilan hukum, bukan semata rekonsiliasi politik.
Namun karena sifatnya yang luas, amnesti memerlukan pertimbangan DPR. Ini mekanisme penting agar tidak terjadi pengampunan sewenang-wenang, apalagi jika dimaksudkan untuk melindungi sekutu politik.
Abolisi: Hentikan Sebelum Diputus
Abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang sebelum ada vonis. Artinya, seseorang yang sedang diperiksa, diselidiki, atau disidangkan bisa dibebaskan dari jerat hukum lewat keputusan presiden—tentu dengan pertimbangan DPR. Ini menjadikannya sangat sensitif.
Abolisi punya rekam jejak panjang dalam sejarah Indonesia. Tokoh-tokoh eks pemberontak seperti mantan militer PRRI, Permesta, dan sejumlah tokoh lokal Timor Timur pernah diberikan abolisi agar proses hukum terhadap mereka dihentikan demi alasan politik dan stabilitas nasional.
Namun dalam situasi masa kini, abolisi kerap menimbulkan polemik, karena potensial menjadi tameng politik. Pemberian abolisi kepada Hasto Kristiyanto, misalnya, jika benar-benar terjadi, akan memicu pertanyaan publik tentang apakah prosedur itu dilakukan dengan adil dan objektif, atau karena afiliasi kekuasaan.
Abolisi bisa menjadi instrumen penting dalam mencegah kekacauan politik atau kriminalisasi. Tapi jika digunakan tanpa transparansi, justru membahayakan kepercayaan publik pada penegakan hukum.
Rehabilitasi: Pulihkan yang Terluka
Rehabilitasi adalah pemulihan nama baik, hak-hak sipil, dan martabat seseorang yang telah dihukum atau dituduh secara tidak adil. Biasanya, rehabilitasi diberikan setelah ada putusan bebas, grasi, atau amnesti.
Contohnya, Soekarno dan Gus Dur. Setelah mengalami penyingkiran politik yang tidak adil, negara akhirnya memulihkan posisi dan jasa mereka secara resmi. Atau Antasari Azhar, yang setelah menerima grasi, juga mendapatkan rehabilitasi sosial dan politik.
Rehabilitasi juga menjadi bagian penting dalam penyelesaian konflik sejarah. Misalnya, para korban peristiwa 1965, yang selama puluhan tahun distigma dan dibatasi hak-haknya, mulai mendapatkan pengakuan dan pemulihan di era reformasi, meski belum menyeluruh.
Di sini kita belajar bahwa rehabilitasi bukan hadiah, tapi bagian dari keadilan. Ia bukan sekadar simbol, tapi juga pemulihan hak sipil dan psikologis.
Kuasa Presiden, Tanggung Jawab Publik
Empat istilah ini menunjukkan satu hal: betapa besarnya kuasa presiden dalam menentukan nasib hukum seseorang, baik untuk meringankan, menghapus, menghentikan, atau memulihkan. Tapi semakin besar kuasa, semakin besar pula potensi penyalahgunaannya.
Presiden memang punya hak prerogatif, tapi rakyat punya hak untuk tahu dan mengawasi. Jangan sampai keputusan-keputusan seperti grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi hanya menjadi instrumen politik tertutup yang jauh dari kepentingan publik. Karena sekali disalahgunakan, ia bisa menjadi alat impunitas, bukan keadilan.
Literasi Publik: Wajib di Tengah Krisis Kepercayaan
Karena itulah, pemahaman terhadap empat istilah ini harus masuk ke dalam literasi publik. Anak-anak muda, mahasiswa, jurnalis, guru, bahkan ibu rumah tangga—semua harus tahu, bahwa istilah-istilah ini bukan sekadar jargon. Mereka adalah alat hukum yang nyata, yang dampaknya bisa langsung terasa pada nasib seseorang, bahkan nasib bangsa.
Saat publik tidak paham, maka kekuasaan hukum menjadi elitis, eksklusif, dan rentan digunakan untuk melindungi kepentingan sempit. Namun saat publik memahami, maka ada tekanan sosial, moral, dan politik agar setiap keputusan tetap berpijak pada keadilan substantif.
Publik juga harus peka membedakan: apakah keempat istilah ini digunakan untuk melindungi korban, atau justru menyelamatkan pelaku yang dekat dengan kekuasaan? Apakah diberikan dengan alasan kemanusiaan, atau karena perhitungan politik?
Demokrasi Perlu Kesadaran Hukum
Demokrasi bukan hanya soal pemilu. Ia adalah sistem yang hidup dari partisipasi, akuntabilitas, dan kesadaran hukum rakyatnya. Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi bukan alat main elite, tapi bagian dari mekanisme negara hukum yang harus diawasi bersama.
Kita tidak sedang menolak hak prerogatif presiden. Kita hanya ingin agar hak itu digunakan dengan transparan, adil, dan tepat sasaran.
Karena hukum yang baik bukan yang memberi kuasa mutlak, tapi yang membuka ruang koreksi publik. Dan keadilan yang sejati bukan yang lahir dari belas kasih penguasa, tapi yang tumbuh dari keberanian rakyat untuk memahami, mengawasi, dan bersuara.