Kekalahan Ridwan Kamil-Suswono dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 menyimpan pelajaran penting tentang kompleksitas politik ibu kota. Sebagai mantan gubernur Jawa Barat dengan popularitas nasional, Ridwan Kamil tampak percaya diri maju ke Jakarta. Namun, hasil akhir menunjukkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno justru menguasai panggung dengan perolehan 50,07% suara, unggul satu putaran. Apa yang membuat Ridwan Kamil gagal di Jakarta?
Salah satu faktor utama adalah sentimen identitas yang tak bisa diabaikan. Jakarta, sebagai pusat politik dan ekonomi, memiliki karakter masyarakat yang unik. Meski dikenal secara nasional, Ridwan Kamil masih dianggap sebagai “tokoh Jawa Barat.” KTP Bandung dan fakta bahwa ia mencoblos di Jawa Barat pada hari pemungutan suara semakin menguatkan anggapan bahwa RK-Suswono adalah “pendatang” di Jakarta. Ini kontras dengan pasangan Pramono-Rano, di mana Rano Karno lekat dengan budaya Betawi melalui perannya di “Si Doel Anak Sekolahan.”
Langkah Ridwan Kamil untuk “mendekatkan diri” dengan Jakarta juga menjadi bumerang. Upayanya mengenakan seragam Persija dalam kampanye, misalnya, dianggap publik sebagai pencitraan yang berlebihan. Jakarta, dengan pemilih yang lebih kritis, melihat ini sebagai “pura-pura Jakarta” daripada usaha tulus untuk memahami masyarakat.
Pemilih Jakarta, dengan tingkat pendidikan dan akses informasi yang lebih tinggi, menunjukkan bahwa mereka tidak mudah terbuai pencitraan kosong—berbeda dengan Jawa Barat yang kerap masih terjebak dalam politik transaksional dan pesona permukaan.
Faktor lain adalah strategi politik yang terlalu bergantung pada dukungan partai. Ridwan Kamil diusung oleh koalisi besar yang mencakup Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto.
Namun, banyak partai di dalam koalisi itu tidak mengerahkan kekuatan penuh. Sebagian “mematikan mesin partai,” sementara yang lain menjalankan kampanye setengah hati. Akibatnya, dukungan besar ini justru menjadi beban yang tak memberikan dampak signifikan di lapangan.
Selain itu, tingkat partisipasi pemilih yang rendah, hanya 57,52%, menjadi tantangan tambahan. Banyak warga Jakarta memilih golput, merasa kandidat yang ada tidak cukup mewakili aspirasi mereka. Hal ini menunjukkan apatisme politik yang semakin meningkat, terutama dibandingkan dengan Pilkada 2017 yang mencatat partisipasi hingga 77,8%.
Blunder besar lainnya adalah pernyataan kontroversial Ridwan Kamil yang bernada seksis. Di kota seperti Jakarta, dengan masyarakat yang lebih terdidik dan progresif, komentar-komentar seperti itu menjadi penghalang besar dalam meraih simpati. Ridwan Kamil tampak kurang memahami karakter masyarakat Jakarta, di mana ketelitian dalam komunikasi politik sangat penting.
Sebaliknya, kemenangan Pramono Anung dan Rano Karno menunjukkan bahwa politik identitas masih kuat di Jakarta. Rano Karno sebagai figur budaya Betawi memberikan keunggulan emosional yang tidak dimiliki pasangan lain. Peran Pramono Anung, meski dianggap tokoh administratif tanpa daya tarik elektoral yang besar, juga berhasil dimaksimalkan oleh PDIP untuk menghadirkan narasi solid.
Namun, kemenangan ini juga tak lepas dari realitas politik Jakarta. Dengan pemilih yang kritis, pasangan yang mampu membangun koneksi emosional dan menawarkan identitas lokal yang kuat lebih cenderung menang. Keberhasilan ini juga menunjukkan bahwa popularitas semata, seperti yang dimiliki Ridwan Kamil di Jawa Barat, tidak otomatis berbuah kemenangan di Jakarta.
Kekalahan Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta 2024 adalah cerminan bahwa strategi politik yang gagal memahami masyarakat lokal akan sulit berhasil. Politik metropolitan menuntut lebih dari sekadar popularitas nasional—ia memerlukan pendekatan yang relevan, komunikasi yang cermat, dan koneksi emosional yang tulus. Jakarta adalah arena yang kompleks, dan bagi Ridwan Kamil, ibu kota tetap menjadi kota yang tak tergapai.
