Keterlibatan tokoh Indonesia dalam World Economic Forum (WEF) kembali menjadi bahan gunjingan. Bukan karena prestasi mereka di panggung internasional, melainkan karena narasi miring yang terus diulang.
Di tengah polarisasi politik dan banjir disinformasi, forum seperti WEF sering digambarkan sebagai alat elite global. Banyak yang menuding bahwa siapa pun yang hadir di forum ini otomatis menyetujui agenda tersembunyi.
Padahal, keterlibatan dalam WEF tidak melanggar hukum. Tidak pula menjadi bukti kesetiaan ideologis pada kekuatan asing.
Kritik terhadap WEF berakar dari tiga hal utama: elitisme, konspirasi, dan sentimen anti-globalisasi.
Pertama, WEF memang eksklusif. Hanya tokoh-tokoh terpilih yang bisa hadir. Biaya keanggotaannya pun mahal. Akibatnya, muncul kesan bahwa WEF adalah klub orang kaya.
Namun, eksklusif bukan berarti tertutup. Banyak isu global dibahas di sana: dari perubahan iklim, transformasi digital, hingga ketimpangan ekonomi.
Kedua, sejak pandemi COVID-19, istilah The Great Reset jadi bahan bakar konspirasi. WEF dianggap punya agenda tersembunyi: mengatur ulang dunia, menghapus kedaulatan nasional, hingga mengendalikan manusia lewat teknologi.
Narasi seperti ini populer di kalangan ekstremis kanan, termasuk di Indonesia.
Ketiga, keterlibatan tokoh nasional dalam WEF sering dijadikan alat serangan politik.
Misalnya, Anies Baswedan. Ia terdaftar sebagai Young Global Leader (YGL) pada 2009. Beberapa akun media sosial menyebutnya bagian dari “agenda globalis”.
Padahal, YGL adalah pengakuan atas kapasitas kepemimpinan. Bukan janji setia pada ideologi tertentu.
Sri Mulyani pun rutin hadir di Davos. Ia tidak sedang menjalankan misi asing. Ia membawa nama Indonesia, menawarkan gagasan, dan membangun jejaring strategis.
Namun, dalam politik, persepsi sering lebih penting dari kenyataan.
Di media sosial, keterlibatan tokoh dalam WEF kerap dijadikan bahan tuduhan. Tuduhan ini tidak berdasar. Tidak pula didukung data. Tapi terus disebar dan diulang.
Beberapa pihak bahkan menyamakan forum global dengan pengkhianatan. Ini logika yang lemah. Dunia saling terhubung. Isolasi bukan solusi.
Tanpa keterlibatan dalam forum internasional, suara Indonesia tidak akan terdengar. Kita hanya jadi penonton, bukan pemain.
Tokoh-tokoh seperti Gita Wirjawan, Mari Elka Pangestu, Dino Patti Djalal, hingga Nadiem Makarim, pernah terlibat dalam forum atau program WEF. Mereka membawa isu pendidikan, ekonomi digital, hingga diplomasi global.
Apakah mereka semua menjalankan agenda asing? Tentu tidak.
Kritik terhadap globalisasi memang penting. Tapi harus jernih. Harus berbasis data, bukan rasa curiga.
Menolak keterlibatan internasional atas dasar ketakutan justru berbahaya. Itu akan menjauhkan Indonesia dari arus kemajuan global.
WEF memang bukan forum sempurna. Tapi bukan pula musuh rakyat.
Sebaliknya, ini adalah panggung untuk menyuarakan kepentingan Indonesia. Forum tempat bertukar gagasan dan membangun kerja sama.
Tentu, keterlibatan harus transparan dan akuntabel. Tokoh yang hadir di forum global harus membawa pulang manfaat.
Tugas media dan masyarakat adalah mengawal itu. Bukan menolak secara membabi buta.
Editorial ini berpandangan: keterlibatan dalam WEF bukan dosa politik. Yang berbahaya adalah ketakutan yang dibentuk tanpa dasar.
Jika kita terus menuduh tanpa bukti, kita hanya akan terjebak dalam politik kecurigaan.
Dunia butuh kerja sama. Bukan isolasi.