Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Kamis, 13 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Pancasila Bukan Milik Satu Nama

Ia lahir dari silang gagasan, bukan dari satu pidato; tumbuh dari kompromi, bukan klaim pribadi.
Udex MundzirUdex Mundzir1 Juni 2025 Editorial
Sejarah Hari Lahir Pancasila dan Perdebatan Ideologi Dasar Negara
Ilustrasi Sejarah Hari Lahir Pancasila dan Perdebatan Ideologi Dasar Negara.
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Narasi tentang kelahiran Pancasila kerap dibungkus secara simbolik, bahkan dipersonifikasikan hanya kepada satu tokoh: Soekarno. Padahal, sejarah tidak pernah sesederhana itu. Pancasila bukan hasil pikiran tunggal, bukan pula hadiah dari satu pidato. Ia lahir dari forum terbuka, silang pendapat, dan kompromi ideologis yang melibatkan banyak tokoh dari berbagai latar.

Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 adalah forum resmi pertama yang membahas dasar negara Indonesia. Saat itu, Indonesia masih dalam cengkeraman Jepang yang sedang sekarat di Perang Dunia II. Dalam ruang-ruang sidang yang panas itu, tiga gagasan besar muncul: dari Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.

Yamin mengusulkan lima asas: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Ia pula yang pertama kali secara tertulis mencantumkan istilah “Pancasila”. Namun, usulannya dinilai terlalu normatif dan tidak menggambarkan bentuk konkret negara.

Soepomo membawa pendekatan yang berbeda. Ia mengusung gagasan negara integralistik—kesatuan antara pemimpin dan rakyat—serta menolak paham liberalisme Barat maupun teokrasi. Ia membicarakan hubungan antara negara dan budaya, antara hukum dan nilai. Gagasannya memengaruhi struktur UUD 1945, tetapi tidak mencantumkan istilah “Pancasila”.

Barulah pada 1 Juni 1945, Soekarno berpidato dan mengusulkan lima prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Ia menyebut nama itu: Pancasila. Retorikanya kuat. Strukturnya jelas. Dan ia menawarkan alternatif bentuk: Trisila, bahkan Ekasila.

Namun perlu dicatat, apa yang Soekarno sampaikan belum final. Itu adalah tawaran konseptual, bukan keputusan resmi. Pancasila belum dikunci pada hari itu.

Setelah sidang BPUPKI, dibentuklah Panitia Sembilan. Di sanalah politik kompromi diuji. Tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno dan Hatta duduk bersama tokoh-tokoh Islam seperti KH Wahid Hasyim, Agus Salim, dan Abdul Kahar Muzakkir. Mereka menyusun Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang memuat sila pertama berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Ini adalah kompromi awal yang penting, tetapi juga memunculkan kekhawatiran. Terutama dari wilayah-wilayah Indonesia Timur yang berpenduduk non-Muslim. Kekhawatiran ini mendorong perubahan besar keesokan hari setelah Proklamasi.

Pada 18 Agustus 1945, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Piagam Jakarta diubah. Tujuh kata yang berbau eksklusif di sila pertama dihapus. Diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah titik final Pancasila yang kita kenal hari ini.

Perubahan itu bukan sekadar teknis redaksional. Ia adalah wujud kedewasaan politik. Tokoh-tokoh Islam legowo, demi menjaga keutuhan bangsa. Tokoh-tokoh nasionalis pun menyadari pentingnya inklusivitas.

Artinya, Pancasila yang kita anut hari ini bukan produk satu hari. Bukan pula hasil dari satu orang. Ia adalah hasil kolektif, lahir dari perdebatan, didiamkan oleh ketegangan, dan dimatangkan oleh kompromi.

Lalu mengapa 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila?

Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 menetapkan tanggal itu sebagai hari peringatan nasional, merujuk pada pidato Soekarno. Tentu ini tidak salah. Tapi perlu dilengkapi. Peringatan 1 Juni mestinya tidak menjadi momen pengkultusan pribadi.

Kita tidak bisa memahami Pancasila secara utuh jika hanya mengaitkannya dengan satu nama. Karena sejarah tidak pernah monolitik.

Pancasila adalah hasil dari keberanian tokoh-tokoh berbeda untuk duduk dan menyepakati yang tak sempurna, tapi bisa diterima bersama.

Ada Yamin yang merumuskan kerangka awal. Ada Soepomo yang menegaskan struktur hukum. Ada Soekarno yang menyuarakan sintesis ideologis. Ada Hatta yang menjembatani. Dan ada para ulama yang memberi ruang kompromi.

Ini bukan perkara siapa lebih berjasa. Tapi bagaimana semua mau saling mengalah demi cita-cita lebih besar: persatuan Indonesia.

Di sinilah makna sejati Pancasila: bukan dogma, tapi dialektika. Bukan warisan beku, tapi ide hidup yang terus diuji dan diperbaharui.

Kini, saat sebagian elite politik kembali memainkan isu agama, etnis, dan identitas untuk kepentingan jangka pendek, kita perlu kembali ke semangat kelahiran Pancasila.

Pancasila bukan alat untuk membungkam, tapi ruang untuk menyatukan.

Bukan tameng untuk menyingkirkan lawan, tapi jembatan untuk merangkul yang berbeda.

Peringatan 1 Juni tidak akan berarti jika hanya dipenuhi pidato seremonial tanpa perenungan substansial.

Pancasila akan kehilangan makna jika dijadikan alat retoris tanpa keberanian untuk menjalankannya secara konsisten di semua level kebijakan.

Maka hari ini, lebih dari sekadar peringatan, 1 Juni harus jadi momentum untuk merebut kembali Pancasila dari penyeragaman dan personifikasi tunggal.

Pancasila adalah karya bersama. Dan hanya bisa dijaga bersama.

BPUPKI Dasar Negara Hari Lahir Pancasila Pidato Soekarno Sejarah Indonesia
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleKemenag Tegaskan Belum Ada Kepastian Pembukaan Visa Furoda
Next Article Bus Shalawat Dihentikan, Jemaah Fokus Persiapan Puncak Haji

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Roehana Koeddoes: Jejak Emansipasi Sang Pionir Pers

30 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Membentuk Generasi Hebat, Lima Syarat Menjadi Anak Hebat

Opini Alfi Salamah

Jejak Warisan dan Peluang di Desa Krampon

Editorial Udex Mundzir

Cerdas Beramal

Islami Syamril Al-Bugisyi

Phil Knight dan Nike

Profil Lina Marlina

Cara Efektif Menghitung Dana Pensiun di Indonesia

Daily Tips Assyifa
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

KPK Cetak Quattrick di Riau, Empat Gubernur Tersandung Korupsi

PB XIII Hangabehi Wafat, Takhta Keraton Surakarta Tunggu Pewaris Resmi

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.