Pertemuan elite politik terus berulang, tetapi apakah benar-benar membawa dampak nyata? Jumat, 14 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumpulkan seluruh pimpinan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di Hambalang, Bogor. Sementara rakyat dihadapkan pada harga pangan yang kian melambung, para pemimpin politik justru menggelar pertemuan akbar yang tak lebih dari ajang kongkow kekuasaan.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, yang turut hadir, bahkan secara gamblang menyebut pertemuan itu hanya pertemuan biasa dan tidak ada yang sangat penting. Hal serupa juga ia sampaikan saat pertemuan serupa terjadi di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta, pada 28 Desember 2024. Pernyataan ini hanya memperkuat kesan bahwa pertemuan elite lebih menyerupai forum pertemanan ketimbang rapat serius menyusun kebijakan untuk mengatasi permasalahan rakyat.
Dalam pertemuan tersebut, tak ada pembahasan mendalam mengenai krisis ekonomi atau solusi bagi rakyat kecil. Alih-alih membahas strategi mengendalikan harga beras yang meroket hingga Rp17.000 per kilogram atau inflasi yang menggerus daya beli, yang terjadi lebih mirip silaturahmi eksklusif para penguasa.
Sebagian besar masyarakat skeptis. Mereka bertanya: Apakah pertemuan ini menghasilkan kebijakan konkret atau hanya memperkuat posisi elite dalam lingkaran kekuasaan?
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Konsolidasi politik sering kali diklaim sebagai langkah menuju stabilitas pemerintahan, tetapi dalam praktiknya, lebih sering menjadi strategi mempertahankan dominasi. Data dari Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) menunjukkan bahwa 68 persen posisi strategis di kabinet diisi oleh kader partai pendukung pemerintah.
Struktur politik seperti ini berisiko menciptakan “kabinet perjamuan,” di mana kursi kekuasaan lebih banyak dibagikan berdasarkan loyalitas daripada kompetensi. Akibatnya, kebijakan publik sering kali terjebak dalam negosiasi politik, bukan pada urgensi kebutuhan rakyat.
Misalnya, Program Makan Bergizi Gratis yang menjadi andalan pemerintah. Alih-alih fokus pada efektivitas dan pemerataan distribusi, program ini lebih sering dijadikan alat pencitraan. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus-menerus muncul dalam pemberitaan saat meninjau pembagian makanan di berbagai daerah.
Namun, laporan Ombudsman RI menunjukkan bahwa di daerah seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua, distribusi makanan masih banyak bermasalah. Kualitas makanan yang rendah dan keterlambatan distribusi memperlihatkan bahwa di balik kemeriahan pemberitaan, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan.
Di sisi lain, pertemuan elite politik yang semakin mesra juga menimbulkan kekhawatiran terkait supremasi hukum. Komitmen Prabowo dalam memberantas korupsi memang digaungkan, tetapi realisasinya belum sepenuhnya meyakinkan.
Kasus Harvey Moeis, misalnya, yang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena korupsi timah, menimbulkan perdebatan mengenai independensi peradilan. Vonisnya menggunakan konsep “ultra petita,” sebuah langkah hukum yang tidak biasa. Sementara itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kalah dalam praperadilan melawan KPK, memicu spekulasi adanya dimensi politik dalam penegakan hukum.
Dalam dinamika seperti ini, oposisi yang kuat seharusnya menjadi penyeimbang. Namun, PDIP sebagai kekuatan utama di luar pemerintahan justru semakin terpinggirkan. Demokrasi yang sehat membutuhkan kritik dan pengawasan yang kuat, bukan hanya satu suara yang mendominasi.
Dari perspektif ekonomi, pertemuan elite ini juga memunculkan pertanyaan besar. Program ambisius seperti Danantara, yang akan diluncurkan pada 24 Februari 2025, diharapkan menjadi solusi investasi energi terbarukan dan ketahanan pangan.
Namun, tanpa transparansi dan mekanisme pengawasan yang jelas, Danantara berisiko menjadi alat eksploitasi sumber daya yang justru menguntungkan segelintir elite. Jika dikelola tanpa kontrol publik yang kuat, program ini bisa berakhir seperti skandal investasi di masa lalu.
Kita tidak bisa terus membiarkan pertemuan elite hanya menjadi ajang perayaan internal tanpa hasil konkret. Ada beberapa langkah yang harus segera diambil untuk memastikan bahwa kongkow politik ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat.
Pertama, harus ada mekanisme akuntabilitas dalam pertemuan politik tingkat tinggi. Setiap pertemuan semacam ini harus menghasilkan keputusan yang jelas, bukan hanya deklarasi simbolis.
Kedua, transparansi dalam penunjukan pejabat publik perlu diperkuat. Semua posisi strategis, terutama dalam kebijakan ekonomi dan sosial, harus melalui proses seleksi yang terbuka dan berbasis meritokrasi.
Ketiga, oposisi yang efektif harus dikembalikan sebagai bagian dari demokrasi yang sehat. Hak angket dan interpelasi di DPR perlu diperkuat agar kebijakan pemerintah selalu mendapat pengawasan ketat.
Keempat, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan harus lebih luas. Digitalisasi pemerintahan bisa digunakan untuk membuka akses publik terhadap kebijakan dan alokasi anggaran.
Jika langkah-langkah ini tidak segera diterapkan, maka pertemuan elite akan terus menjadi acara sosial eksklusif yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat tetap berjuang sendiri menghadapi tantangan hidup.
Rakyat tidak butuh pertemuan mewah di Hambalang, Sentul, atau Istana. Mereka butuh solusi nyata. Saatnya para pemimpin berhenti sekadar berbincang dan mulai bekerja.