Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut adanya “raja kecil” di tubuh birokrasi pemerintah bukanlah sebuah pengungkapan baru, melainkan pengulangan retorika lama tentang musuh dalam selimut di pemerintahan. Ia mengaku geram dengan birokrat yang membangkang, merasa kebal hukum, dan menolak menjalankan perintah penghematan anggaran. Namun, pertanyaan yang lebih penting: benarkah ini sekadar soal perlawanan individu atau justru cermin dari sistem yang sudah lama bermasalah?
Prabowo menyebut dirinya ingin menghapus pengeluaran-pengeluaran mubazir, termasuk anggaran perjalanan dinas luar negeri. Ia bahkan menantang siapa saja yang berani melawannya. Retorika keras ini terdengar tegas di panggung politik, tetapi di baliknya, ada kontradiksi mendasar dalam cara pemerintah mengelola birokrasi.
Fenomena “raja kecil” di birokrasi bukan hanya tentang individu yang merasa lebih berkuasa, tetapi juga tentang sistem yang memungkinkan mereka bertumbuh. Budaya birokrasi yang sarat patronase, jaringan kekuasaan informal, serta lemahnya mekanisme pengawasan membuat banyak pejabat merasa memiliki “wilayah kekuasaan” sendiri di dalam struktur negara. Mereka menguasai anggaran, memanfaatkan celah regulasi, dan menempatkan loyalitas pribadi di atas kepentingan publik.
Lebih jauh, pernyataan Prabowo justru mengungkap kegagalan pemerintah dalam menertibkan birokrasi yang sudah lama menjadi beban pembangunan. Jika presiden harus mengeluhkan di ruang publik tentang pejabat yang tidak patuh, bukankah ini menandakan kelemahan dalam sistem kontrol internal pemerintah? Mengapa mereka yang disebut “raja kecil” itu masih bisa bebas bergerak tanpa takut akan sanksi?
Di sinilah letak paradoksnya. Pemerintah sering berbicara soal reformasi birokrasi, tetapi implementasi di lapangan kerap setengah hati. Alih-alih menindak tegas, banyak kasus pelanggaran etika birokrasi justru berakhir dengan kompromi politik atau saling lindung di antara elite. Birokrasi bukan sekadar soal individu, melainkan soal jaringan kekuasaan yang kompleks, di mana loyalitas personal sering kali lebih diutamakan daripada kinerja.
Selain itu, sorotan Prabowo tentang penghematan anggaran juga menyimpan ironi tersendiri. Pemotongan anggaran perjalanan dinas, misalnya, memang bisa mengurangi pemborosan di atas kertas. Namun, penghematan ini tak cukup jika hanya simbolik—menyasar pos-pos kecil, sementara anggaran jumbo untuk proyek infrastruktur atau belanja militer tetap mengalir tanpa evaluasi yang transparan.
Di sisi lain, retorika keras seperti ini sering kali lebih efektif sebagai alat politik daripada solusi administratif. Dengan menunjuk “raja kecil” sebagai kambing hitam, pemerintah bisa mengalihkan perhatian publik dari kegagalan struktural dalam reformasi birokrasi yang lebih luas. Bukankah lebih mudah menyalahkan individu daripada mengakui bahwa sistemnya sendiri yang bermasalah?
Lebih dari sekadar pidato keras, yang dibutuhkan adalah komitmen nyata untuk membangun budaya birokrasi yang bersih dan transparan. Bukan hanya soal mengurangi perjalanan dinas atau memotong anggaran seremonial, tetapi juga memastikan bahwa pejabat publik benar-benar bertanggung jawab atas kinerjanya.
Reformasi birokrasi harus dimulai dari atas, dengan keteladanan yang jelas dari para pemimpin tertinggi. Tidak cukup hanya mengkritik “raja kecil” di bawah, jika pada saat yang sama sistem politik masih memelihara budaya patronase di tingkat atas. Kekuatan presiden tidak hanya diukur dari pidato yang lantang, tetapi dari seberapa efektif ia bisa mengubah sistem yang melahirkan “raja-raja kecil” itu.
Jika tidak, maka pernyataan seperti ini hanya akan menjadi bagian dari siklus retorika yang berulang setiap kali ada perubahan rezim. Kita pernah mendengar kritik serupa di era presiden sebelumnya, tetapi birokrasi tetap berjalan di tempat, bahkan kadang melangkah mundur.
Pada akhirnya, yang publik butuhkan bukan sekadar pemimpin yang berani berbicara keras, tetapi pemimpin yang mampu memastikan kata-katanya diikuti dengan tindakan nyata. Sebab, tanpa perubahan sistemik, “raja-raja kecil” itu akan tetap bertahan, menunggu giliran untuk kembali menguasai.