Julukan “Bapak Aing” yang disematkan pada Kang Dedi Mulyadi telah melejit menjadi simbol populisme digital. Di balik tawa dan komentar lucu netizen, sesungguhnya ada ironi sosial yang dalam. Rakyat tidak benar-benar sedang dibantu. Mereka sedang digunakan. Dijadikan latar cerita dramatis. Dijadikan figuran dalam panggung besar seorang politisi yang sedang memoles citra.
Setiap konten yang viral itu tampak heroik di permukaan. Tapi narasinya nyaris sama: pemimpin muncul tiba-tiba, melihat rakyat yang “salah”, memberi teguran keras, lalu mengakhiri dengan bantuan uang, barang, atau sekadar pelukan. Semua dalam satu frame. Semua di depan kamera.
Terlalu sering, terlalu rapi, terlalu sesuai dengan algoritma. Sulit untuk percaya bahwa semua itu alami. Apalagi jika muncul secara rutin dan teratur di berbagai platform sosial media. Semuanya terlihat seperti bagian dari strategi komunikasi politik yang disengaja.
Di titik ini, kita patut bertanya: benarkah rakyat menyebutnya “Bapak Aing” karena cinta dan kedekatan? Ataukah sebutan itu dimunculkan secara sistematis oleh buzzer dan tim media untuk membentuk persepsi publik bahwa KDM adalah pemimpin sejati yang membumi?
Rakyat yang benar-benar membutuhkan pertolongan biasanya tidak ingin direkam saat sedang susah. Mereka tidak ingin dihujat, dinasihati keras, lalu disorot kamera. Apalagi dipermalukan di hadapan jutaan penonton demi konten yang mendulang simpati.Ini bukan empati. Ini eksploitasi visual.
Sungguh ironis jika seorang pemimpin merasa perlu marah-marah setiap hari hanya untuk menunjukkan ketegasan. Jika sistem pemerintahan bekerja dengan baik, maka semua pelanggaran bisa diselesaikan melalui mekanisme dan regulasi yang berlaku. Bukan dengan teguran dadakan yang viral.
Pemimpin yang baik tidak perlu hadir di setiap masalah kecil. Ia membangun sistem agar semua berjalan disiplin tanpa intervensi langsung terus-menerus. Negara tidak dikelola seperti acara reality show. Kepemimpinan bukan soal siapa yang paling sering muncul di layar.
Yang lebih berbahaya adalah efek psikologis yang ditimbulkan pada masyarakat. Mereka jadi terbiasa melihat pemimpin sebagai penyelamat tunggal. Segala hal diserahkan pada satu figur. Padahal dalam demokrasi, kekuasaan tidak boleh dikultuskan.
Fenomena ini juga menciptakan semacam ketergantungan rakyat pada sensasi. Rakyat jadi menanti momen viral berikutnya, berharap suatu hari disorot juga oleh kamera “penyelamat”. Bukan karena ingin dibantu, tapi karena merasa hanya lewat kontenlah bantuan itu datang.
Lebih buruk lagi, para penjilat di sekitar pemimpin semacam ini tidak akan pernah berani mengkritik. Mereka ikut terseret dalam pusaran konten. Mereka tahu semuanya adalah bagian dari strategi. Tapi selama mereka masih kebagian sorotan, mereka akan tetap ikut menyanyi di paduan suara pencitraan.
Ini bukan lagi soal KDM. Ini refleksi dari bagaimana rakyat perlahan diposisikan sebagai alat. Yang penting bukan lagi kesejahteraannya, tapi seberapa dramatis ceritanya di kamera. Mereka yang miskin, yang tua renta, yang bodoh, yang “nakal”, jadi karakter pendukung dalam skenario yang sudah ditulis.
Dan jika ini terus berlangsung, akan lahir generasi rakyat yang pasrah jadi objek. Mereka tidak lagi bersuara. Mereka hanya menunggu kapan mereka akan jadi tokoh konten berikutnya.Ingat, rakyat bukan figuran. Mereka punya martabat. Mereka berhak dihargai bukan karena bisa membuat pemimpin terlihat hebat, tapi karena mereka manusia yang sejajar.
Jika hari ini banyak yang memuji “Bapak Aing”, bisa jadi karena belum ada ruang untuk bertanya: siapa sutradaranya? Siapa kameramennya? Dan siapa sebenarnya yang sedang dikibuli?