Saat memasuki masa kepemimpinan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, salah satu isu yang tidak dapat dihindari adalah tantangan besar dalam pelindungan data pribadi. Di tengah pesatnya transformasi digital, kebocoran data semakin sering terjadi, menimbulkan keresahan di masyarakat.
Kasus-kasus seperti kebocoran data Tokopedia, MyPertamina, hingga data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelang Pemilu 2024 telah menggarisbawahi kelemahan serius dalam sistem keamanan informasi di Indonesia.
Meskipun pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mengambil langkah besar dengan mengesahkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), penerapan undang-undang ini masih jauh dari sempurna. Tanpa adanya peraturan turunan yang jelas dan lembaga pelaksana yang efektif, UU PDP belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal bagi masyarakat.
Inilah tantangan yang harus segera dihadapi oleh pemerintahan baru, karena kebocoran data bukan hanya tentang masalah teknis, tetapi juga berkaitan dengan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Indonesia tengah berada dalam proses transformasi digital yang pesat, dengan penetrasi internet yang semakin meluas dan penggunaan platform daring yang menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Namun, di balik kemajuan ini, ancaman kebocoran data terus meningkat, terutama ketika sistem keamanan informasi belum sepenuhnya siap menghadapi tantangan besar ini.
Di era Jokowi, insiden kebocoran data dari berbagai aplikasi besar telah menjadi sorotan, termasuk bocornya 91 juta data pengguna Tokopedia pada tahun 2020 dan kebocoran data MyPertamina yang dilaporkan pada 2022.
Dampak dari kebocoran data ini sangat luas. Selain melibatkan kerugian ekonomi bagi masyarakat, seperti kasus penipuan digital dan pencurian identitas, insiden ini juga mengancam privasi individu. Data pribadi yang bocor dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber untuk tujuan-tujuan ilegal, dari penipuan hingga penyebaran informasi yang merugikan.
Ironisnya, dalam banyak kasus, pemerintah tampak lambat dalam merespons kebocoran data. Masyarakat sering kali pertama kali mendengar kebocoran dari laporan pihak ketiga atau pakar keamanan, bukan dari pemerintah sendiri. Ini memunculkan krisis kepercayaan yang harus segera diatasi oleh pemerintahan baru.
UU PDP yang disahkan pada 2022 sebenarnya menjadi langkah besar untuk melindungi hak privasi masyarakat di era digital. Undang-undang ini mengadopsi banyak prinsip dari European Union General Data Protection Regulation (EU GDPR), yang dikenal sebagai standar tinggi dalam pelindungan data di dunia. Dalam UU PDP, diatur hak-hak individu atas data mereka, kewajiban para pengendali data, serta sanksi bagi pihak yang melakukan pelanggaran.
Namun, meski di atas kertas UU PDP sudah memberikan kerangka hukum yang kuat, implementasinya belum berjalan optimal. Salah satu masalah utamanya adalah ketiadaan peraturan turunan yang menjadi panduan teknis pelaksanaan undang-undang tersebut. Selain itu, belum terbentuknya Lembaga Pelindungan Data Pribadi (Lembaga PDP) yang mandiri semakin memperlambat proses ini. Tanpa lembaga yang berfungsi mengawasi dan menegakkan aturan, kebijakan ini hanya akan menjadi retorika belaka.
Kami memandang masalah ini perlu mendapat perhatian utama dari pemerintahan Prabowo-Gibran. Kebocoran data harus dilihat bukan hanya sebagai masalah keamanan teknis, tetapi sebagai krisis yang mengancam hak asasi masyarakat atas privasi dan keamanan. Penerapan UU PDP secara tegas dan konsisten menjadi kunci dalam menghadapi ancaman tersebut.
Kebocoran data pribadi memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat. Salah satu ancaman terbesar adalah pencurian identitas, di mana data yang bocor dimanfaatkan untuk melakukan penipuan atau kegiatan kriminal lainnya. Korban sering kali tidak menyadari bahwa data mereka telah disalahgunakan sampai mereka mengalami kerugian finansial atau sosial yang signifikan.
Ketika data pribadi bocor, itu seperti membuka pintu bagi pelaku kejahatan untuk masuk ke dalam kehidupan kita tanpa izin. Pelaku kejahatan bisa menggunakan informasi tersebut untuk tujuan yang merugikan, bahkan menghancurkan reputasi atau mengambil alih akun penting kita.
Pelaku penipuan biasanya memanfaatkan data-data yang bocor untuk membangun skenario yang terlihat kredibel. Misalnya, penipuan melalui telepon yang mengaku dari pihak bank, menggunakan informasi pribadi korban yang bocor untuk meyakinkan target bahwa mereka benar-benar dari pihak yang sah.
Bagi masyarakat, masalah ini bukan hanya soal kehilangan data atau privasi, tetapi juga soal kehilangan rasa aman. Ketidakpastian tentang siapa yang memiliki akses terhadap informasi pribadi mereka menciptakan ketakutan yang wajar. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaktransparanan pemerintah dalam menangani kasus-kasus kebocoran data.
Pemerintahan Prabowo-Gibran akan menghadapi tantangan besar dalam membangun ekosistem digital yang aman. Menyelesaikan persoalan kebocoran data ini bukan hanya soal memperbaiki keamanan siber, tetapi juga soal memperbaiki kepercayaan publik. Ada beberapa langkah konkret yang harus segera diambil oleh pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
Pertama, finalisasi peraturan turunan dari UU PDP harus segera diselesaikan. Tanpa peraturan teknis ini, implementasi UU PDP di lapangan akan terus terhambat. Para pengendali data, baik di sektor publik maupun swasta, membutuhkan pedoman yang jelas tentang bagaimana mereka harus melindungi data pribadi yang mereka kelola.
Kedua, pembentukan Lembaga PDP yang independen sangatlah krusial. Lembaga ini harus memiliki otoritas yang cukup kuat untuk mengawasi dan menegakkan aturan pelindungan data, serta mampu memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar. Lembaga ini juga harus bersifat independen dari pengaruh politik, sehingga bisa berfungsi secara objektif dalam menjalankan tugasnya.
Terakhir, transparansi pemerintah dalam menangani kebocoran data harus ditingkatkan. Masyarakat berhak mengetahui proses investigasi setiap kali terjadi insiden kebocoran, termasuk langkah-langkah apa yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah insiden serupa di masa mendatang. Keterbukaan ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan publik, tetapi juga akan memotivasi sektor swasta untuk lebih serius dalam mengelola data pribadi.
Dengan perhatian khusus terhadap pelindungan data pribadi, pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kesempatan untuk membawa Indonesia menuju era digital yang lebih aman dan terlindungi. Di tengah semakin canggihnya teknologi, pemerintah harus mampu beradaptasi dan memastikan bahwa hak-hak warga negara di dunia maya dihormati dan dilindungi.
Ke depan, tantangan ini tidak akan menjadi lebih mudah. Serangan siber akan semakin canggih, dan data pribadi akan menjadi semakin berharga di era digital ini. Namun, dengan kebijakan yang tepat dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat menghindari insiden kebocoran data yang lebih besar dan membangun sistem yang melindungi seluruh warganya di dunia maya.