Senjata makan tuan. Begitulah gambaran paling tepat dari kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump terhadap produk-produk asing, termasuk barang dari Indonesia.
Dengan menaikkan tarif hingga 34 persen untuk produk China, 26 persen dari India, dan 32 persen untuk Indonesia, Trump seolah sedang melindungi industri domestik Amerika Serikat.
Namun justru, langkah ini menciptakan keguncangan global—mulai dari panik beli iPhone di AS hingga terancam runtuhnya sektor manufaktur di negara berkembang.
Yang lebih memprihatinkan, Indonesia tampak gagap membaca arah angin geopolitik ini.
Pemerintah Indonesia, alih-alih mengantisipasi langkah unilateral seperti ini sejak awal, justru tampak baru bergerak setelah dampak terasa.
Langkah reaksioner seperti wacana meningkatkan impor dari AS demi mendapat “konsesi” dagang, adalah manuver lemah yang memperlihatkan kurangnya pemahaman mendasar tentang strategi perdagangan global.
Ini bukan soal kuota dagang atau barter dagang konvensional. Ini soal posisi tawar, diplomasi ekonomi, dan kesiapan menghadapi proteksionisme yang terbungkus retorika nasionalisme.
Sementara Apple dan perusahaan besar lain dengan cepat memutar strategi global supply chain mereka—seperti memindahkan produksi ke Brasil demi menghindari tarif—Indonesia bahkan belum selesai mengidentifikasi sektor mana saja yang terdampak langsung.
Padahal data Kementerian Perdagangan tahun 2024 mencatat, ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 28 miliar, dan 35 persen di antaranya berasal dari produk-produk yang kini dikenakan tarif tinggi.
Sektor yang paling rentan adalah tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan.
Sebagian besar pabrik padat karya di Jawa Barat dan Jawa Tengah menggantungkan hidup dari pesanan ekspor ke AS.
Dengan tarif baru yang membuat harga produk Indonesia tak lagi kompetitif, buyer internasional berpotensi memindahkan pesanan ke negara-negara lain seperti Vietnam atau Meksiko yang tak dikenakan tarif setinggi itu.
Ancaman PHK massal membayangi, dan hingga kini belum ada skema mitigasi terpadu dari pemerintah.
Lebih jauh lagi, Indonesia gagal memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisinya di forum multilateral seperti WTO.
Ketika negara-negara lain mulai bersuara tentang ketidakadilan tarif unilateral AS, pemerintah Indonesia justru memilih jalur pendekatan bilateral yang rawan penekanan.
Ini adalah kekeliruan strategi.
Dengan kapasitas ekonomi sebesar Indonesia, diplomasi dagang seharusnya dibawa ke level sistemik dan strategis, bukan transaksional.
Proteksionisme semacam ini juga merupakan bentuk keegoisan politik domestik AS yang berdampak sistemik.
Dengan dalih menyelamatkan industri Amerika, Trump justru melemahkan stabilitas global yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi dunia.
Ketika harga iPhone melonjak dan warga AS berebut produk sebelum tarif berlaku, kita menyaksikan efek domino dari kebijakan yang tampak “nasionalistik” namun sebenarnya kontraproduktif.
Pasar Amerika bukan hanya kehilangan produk murah dari luar, tapi juga kepercayaan pasar global.
Saham Apple sudah anjlok 18 persen sejak pengumuman tarif.
Ini bukan hanya soal neraca perusahaan, tapi soal kepercayaan investor pada masa depan perdagangan global.
Apple bahkan harus menyewa lima pesawat penuh dari China dan India untuk mengangkut stok ke AS demi menjaga harga tetap stabil.
Langkah itu bukan solusi jangka panjang—itu hanya penundaan dari kerugian yang pasti datang.
Di sinilah senjata makan tuan mulai terasa: pasar AS menolak lonjakan harga, industri dalam negeri belum siap menggantikan, dan investor mulai menjauh.
Bagi Indonesia, pelajaran besarnya adalah: jangan menggantungkan masa depan industri pada satu pasar utama.
Ketika 17 persen dari total ekspor non-migas Indonesia masih bertumpu pada AS, maka kerentanan akan selalu menghantui.
Diversifikasi pasar ke Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah menjadi mutlak.
Sayangnya, strategi itu tidak muncul dalam rencana jangka menengah perdagangan Indonesia.
Lebih dari itu, Indonesia perlu mereformasi industri dalam negeri.
Ketergantungan pada produk ekspor bernilai tambah rendah seperti bahan mentah atau produk setengah jadi harus dihentikan.
Hilirisasi industri bukan lagi jargon politik, tapi kebutuhan mendesak.
Tanpa kemampuan menghasilkan produk akhir bernilai tinggi, Indonesia akan terus jadi korban kebijakan tarif negara besar.Secara sosial, dampak kebijakan ini sangat nyata.
Tenaga kerja di sektor manufaktur berisiko besar kehilangan pekerjaan.
Pemerintah harus segera menyiapkan program pelatihan ulang (reskilling) dan insentif bagi industri yang mau mengalihkan orientasi pasar ke kawasan non-AS.
Bahkan, langkah lebih progresif seperti pemberian subsidi ekspor jangka pendek perlu dipertimbangkan, tentu dengan batasan yang hati-hati agar tak melanggar aturan WTO.Kita juga harus mengkritisi lemahnya kesiapan politik luar negeri kita dalam membaca arah global.
Ketika Trump terpilih kembali, sinyal proteksionisme sebenarnya sudah terlihat dari awal masa kampanye.
Namun tidak ada respons cepat dari Kementerian Perdagangan atau Kementerian Luar Negeri untuk mengantisipasi ini.
Negara tetangga seperti Vietnam bahkan sudah menyiapkan perjanjian bilateral dengan Uni Eropa dan Kanada sebagai cadangan pasar ekspor mereka.
Yang lebih ironis, pemerintah justru berwacana menambah impor dari AS.Ini jelas langkah keliru.
Menambah impor sebagai bentuk “kompensasi” agar tarif ekspor kita diturunkan hanya akan memperburuk neraca perdagangan.
Posisi Indonesia sebagai pasar besar justru harus digunakan sebagai alat tekan dalam negosiasi, bukan sebagai konsesi murahan.
Kesimpulannya, kebijakan tarif Trump adalah bentuk senjata makan tuan yang sedang menghantam pelaku usaha, konsumen, dan pasar global secara bersamaan.
Namun, lebih menyedihkan adalah ketidaksiapan Indonesia menghadapi dampaknya.
Di saat negara lain mulai mencari cara keluar dari pusaran ini, kita masih sibuk meraba-raba jalur kompromi yang justru merugikan diri sendiri.
Saatnya Indonesia berhenti bersikap pasif dan mulai menyusun strategi jangka panjang yang visioner, tangguh, dan berdaulat secara ekonomi.