Kenaikan upah minimum sebesar 6,5% pada 2025 diumumkan pemerintah sebagai langkah meningkatkan daya beli pekerja. Namun, kelompok buruh menilai kebijakan ini hanya sebatas formalitas tanpa dampak nyata. Mereka mempertanyakan efektivitasnya di tengah tingginya biaya hidup dan beban tambahan dari berbagai kebijakan baru.
Dengan inflasi diproyeksikan mencapai 4%, kenaikan riil upah pekerja hanya sekitar 2,5%. Di daerah seperti Yogyakarta, misalnya, kenaikan tersebut hanya menambah sekitar Rp138.000 pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Tambahan ini hampir tidak mencukupi untuk menutupi lonjakan harga barang dan kebutuhan dasar yang terus meningkat.
Serikat buruh seperti FSBPI dan KSBSI menyebut kenaikan ini tidak seimbang dengan beban tambahan akibat kebijakan lain, seperti peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kenaikan iuran BPJS kesehatan, dan pembatasan subsidi BBM. Dampaknya, daya beli pekerja yang dijanjikan meningkat justru terancam stagnasi, bahkan menurun.
Di sisi lain, kelompok pengusaha melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan keberatan terhadap kenaikan upah yang lebih besar. Mereka khawatir kenaikan UMP akan membebani sektor usaha padat karya, mengancam keberlanjutan bisnis, dan memicu pengurangan tenaga kerja. Namun, argumen ini bertentangan dengan data yang menunjukkan bahwa upah murah tidak selalu mendorong investasi atau penciptaan lapangan kerja yang signifikan.
Dalam satu dekade terakhir, investasi yang masuk ke Indonesia cenderung menghasilkan tingkat serapan tenaga kerja yang lebih rendah. Pada 2014, misalnya, setiap Rp1 triliun investasi mampu menyerap 3.313 tenaga kerja, sementara pada 2023 hanya menyerap 1.283 tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa kebijakan upah murah tidak memberikan manfaat ekonomi yang substansial.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, sebagaimana dirilis BBC Indonesia, mengkritik pendekatan pemerintah dalam menentukan kenaikan UMP 6,5%. Ia menyebut bahwa formula tersebut tidak mencerminkan kebutuhan riil pekerja. Menurutnya, untuk benar-benar meningkatkan daya beli dan konsumsi rumah tangga, kenaikan upah minimum idealnya berada di kisaran 8%-10%. Simulasi Celios menunjukkan bahwa kenaikan sebesar itu dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) hingga Rp122 triliun.
Sementara itu, banyak pekerja mengeluhkan bahwa tambahan upah ini tidak mampu menutupi kebutuhan dasar seperti biaya makanan, transportasi, dan pengeluaran rumah tangga lainnya. Kenaikan harga barang dan jasa akibat kebijakan baru membuat tambahan upah tersebut terasa percuma. Mereka berharap pemerintah tidak hanya menaikkan upah, tetapi juga menunda kebijakan yang membebani pekerja, seperti kenaikan PPN dan iuran BPJS.
Pemerintah perlu mengubah pendekatan dalam kebijakan pengupahan. Selain menaikkan UMP secara signifikan, perlu ada pengendalian harga kebutuhan pokok, subsidi yang lebih adil, dan penundaan kebijakan fiskal baru hingga daya beli masyarakat stabil. Upah minimum seharusnya tidak hanya menjadi alat perlindungan bagi pekerja, tetapi juga sebagai pendorong ekonomi domestik melalui konsumsi rumah tangga.
Pada akhirnya, kebijakan ini menyisakan pertanyaan besar: untuk apa kenaikan UMP 6,5% itu jika dampaknya tidak dirasakan oleh buruh? Jika kebijakan upah hanya menjadi langkah simbolis, maka tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pekerja tidak akan tercapai. Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis agar kenaikan upah benar-benar memberikan manfaat nyata, baik bagi pekerja maupun perekonomian nasional.